post image
AlbatrossOne
KOMENTAR

Burung laut albatros dari keluarga Diomedeidae dalam ordo Procellariiformes merupakan salah satu burung dengan ukuran tubuh besar dan rentang sayap yang lebih panjang dari burung lainnya.

Burung yang banyak ditemukan di Samudera Antartika dan Pasifik Utara ini menginspirasi insinyur Airbus dalam pembuatan sayap pesawat berengsel.

Ujung sayap yang berengsel memungkinkan sayap “mengepak” ketika penerbangan berlangsung.

Terobosan ini berpotensi merevolusi desain sayap pesawat di masa depan.

Inovasi yang dilakukan Airbus ini bertujuan untuk mengurangi bobot sayap serta mengatasi efek turbulensi dan hembusan angin pada pesawat.

Model yang diberi nama AlbatrossOne telah diuji coba dengan sistem kendali jarak jauh lewat remote control.

Setelah penerbangan perdana tim pengembangan akan melakukan pengujian lebih jauh sebelum maju ke tahap berikutnya.

“Sebelumnya, sayap pesawat berengsel baru ditemukan pada pesawat militer, yakni untuk menghemat ruangan ketika harus diangkut dalam kapal induk,” ujar insinyur Airbus, Tom Wilson, di Filton, Bristol Utara, Inggris, dalam keterangan yang diterima redaksi.

“AlbatrossOne adalah model pesawat pertama yang menguji-coba penggunaan ujung sayap berengsel saat terbang untuk meringankan efek turbulensi dan hembusan angin,“ sambungnya.

Dia mengatakan, burung albatros akan mengunci sayapnya di bagian bahu ketika harus terbang jarak jauh. Ketika angin berhembusan kuncian tersebut akan dibuka untuk memungkinkannya melakukan manuver.

“Model pesawat AlbatrossOne akan mengkaji kegunaan sayap pesawat berengsel yang dengan leluasa bisa beradaptasi terhadap turbulensi secara otomatis saat terbang. Teknologi ini akan dapat meringankan beban di pangkal sayap, dan mengurangi kebutuhan akan wing box yang berat,” sambung Wilson.

Airbus Executive Vice-President Engineering Jean-Brice Dumont menyampaikan bahwa AlbatrossOne menunjukkan “bagaimana alam dapat menjadi sumber inspirasi.”

“Ketika ada hembusan angin atau turbulensi, sayap pesawat konvesional akan membebani badan pesawat. Oleh karena itu, pangkal sayap perlu diperkuat. Penguatan ini akan menambah beban keseluruhan pesawat,“ ujar Dumont.

“Sayap berengsel yang dapat beradaptasi terhadap hembusan angin akan memungkinkan kami untuk membuat sayap yang lebih ringan dan panjang. Semakin panjang sayap pesawat, maka semakin sedikit hambatan untuk terbang secara optimal. Hal ini berpotensi meningkatkan efisiensi bahan bakar,” ujarnya.

AlbatrossOne, yang dikembangkan insinyur Airbus di Filton, menyelesaikan uji terbang perdananya pada bulan Februari setelah menjalani program pengembangan selama 20 bulan. Menurut Dumont, AlbatrossOne adalah “pesawat pertama yang dibuat Filton sejak Concorde“.

AlbatrossOne terbuat dari bahan serat karbon dan polimer yang diperkuat dengan serat kaca serta komponen lapisan tambahan.

Salah satu insinyur Filton, James Kirk, mengatakan bahwa penerbangan perdana AlbatrossOne bertujuan untuk menguji stabilitas pesawat tersebut dalam keadaan engsel sayap terkunci dan ketika kuncinya dibuka.

“Langkah selanjutnya adalah untuk melakukan pengujian lebih lanjut terhadap penggabungan mode terkunci dan tak terkunci, agar keduanya dapat dilakukan saat terbang. Kemudian, akan dipelajari pula transisi antara kedua mode tersebut,” jelasnya.

Tim pengembang telah mempresentasikan hasil riset mereka dalam konferensi International Forum on Aeroelasticity and Structural Dynamics di Amerika Serikat pada awal Juni lalu.


Korea Selatan Siapkan Pesawat Pengintai Tak Berawak Antisipasi Gerakan Provokatif

Sebelumnya

Inggris dan Jepang Tandatangani Kerjasama Antariksa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Technology