post image
Penandatanganan kerjasama Garuda Indonesia dan Citilink Indonesia dengan Mahata Aero Teknologi bulan November 2018.
KOMENTAR

Rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar Citilink Indonesia membatalkan kerjasama dengan Mahata Aero Teknologi dinilai sebagai kegagapan dalam memahami model bisnis baru.

Kerjasama Citilink yang merupakan anak perusahaan dari Garuda Indonesia dengan Mahata dalam penyediaan jasa wifi berkecepatan tinggi dalam penerbangan menjadi pangkal dari silang sengkarut yang terjadi mengingiri laporan keuangan 2018 Garuda Indonesia. Kerjasama itu ditandatangani bulan November 2018.

Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST), dua Komisaris Garuda, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, menolak menandatangani laporan keuanga itu. Mereka menilai tidak sepantasnya potensi keuntungan yang belum nyata dimasukkan sebagai pendapatan.

Dengan mencatatkan potensi kerjasama Citilink dan Mahata itu sebagai pendapatan, Garuda dalam laporan keuangannya mencatatkan keuntungan. Sementara, tanpa memasukkan potensi dari kerjasama itu sebagai pendapatan Garuda akan mengalami kerugian.

Gurubesar ekonomi dari UI, Rhenald Kasali dalam 14 pokok pikirannya yang tersebar di jejaring media sosial mengatakan memang paling sulit meyakinkan bisnis dengan cara baru kepada orang-orang lama.

Dia juga mengatakan, kalau memang tidak mau menggunakan teknologi yang sudah dikerjasamakan dengan Mahata, pemerintan bisa menjualnya kepada penyedia layanan transportasi berbasis online seperti Gojek atau Traveloka.

“Pasti dibayar secepat kilat,” tulis Rhenald Kasali.

Rhenald Kasali juga menjelaskaan bahwa dalam perkembangannya, kini bisnis membutuhkan kemampuan mobilisasi dan okestrasi atau MO. Ini gaya baru, memahami ekosistem baru dunia bisnis sehingga bisa memaksimalkan keuntungan.

Berikut 14 point pandangan Rhenald Kasali menganai pembatalan kerjasama Citilink dan Mahata.

1.Paling sulit memang meyakinkan bisnis cara baru pada orang-orang tua yang pernah sukses dengan cara lama. Padahal  cara lama sudah obsolete digerus teknologi dan data. Tetapi mereka selalu merasa paling benar.

2. Contohnya di Garuda Indonesia itu. Kalau diberitahu, mereka cepat sekali naik pitam dan ingin cepat-cepat bilang fraud lah, salah lah, tidak boleh, batalkan, tidak ada duit lah, modalnya terlalu kecil, dan seterusnya.

3. Menurut saya, kalau mereka tidak mau, jual saja ke SuperApps seperti Google, Gojek, atau Traveloka. Pasti dibayar secepat kilat. Daripada main batalkan dan merugikan keuangan negara.  Anak-anak muda itulah yang tahu bagaimana cara menciptakan value pada airlines gemuk plat merah milik BUMN itu. Caranya riil, bukan digoreng-goreng sahamnya.

4. Ini era MO, pakai tagar menjadi #MO. Artinya orang pakai tagar dengan tujuan mobilisasi dan orkestrasi. Sebab di era baru, #MO membuat bisnis harus hidup dari cara mobilisasi dan orkestrasi ekosistem pakai data.

5. #MO itu peradaban entrepreneurship anak-anak muda yang berbasis teknologi. Untuk membuat dampak besar dan ekonomi  heboh tak perlu modal besar karena  peradaban ini didukung oleh 6 pilar: Artificial Intelligence, Big Data, Super Apps, Broadband Network, Internet of Things dan Cloud Computing.

6. Dapat duitnya dengan mengorkestrasi ekosistem, bukan menguasai aset yang besar seorang diri. Kata kuncinya kolaborasi. Maka asetnya  light. Ini berbeda dengan bisnis kakek-kakek  yang heavy asset dan tampak gede di neraca dan laporan pendapatannya disetel akunting konvensional.

7. Ini pula yang menjadi biang keributan akuntansi. Makanya di New York Stock Exchange, orang-orang lagi ramai membincangkan buku guru besar akuntansi senior dati Stern, Baruch Lev: The End of Accounting.

8. Masalahnya, standar akuntansi yang kita kenal belum mampu meng-capture “nilai” yang diciptakan oleh startup yang disebut sebagai “network effect value.” Ini persis sama dengan ramainya perdebatan tentang “intangible” yang didebatkan  boleh atau tidak dihitung dalam perolehan aset 30 tahun lalu.

9. Jadi, perusahaan-perusahaan lama itu tak ada network effect value-nya karena produknya stand-alone. Ini persis kaya kita ngebandingin Nokia dengan Iphone atau Adidas dengan Nike, atau ITB dengan Harvard/Tedx

10. Yang satu cuma jual produk atau jasa tok. Nokia daoat duit dari gadget belaka. Dia standalone.  Iphone dapat duit dari gadget plus dari App store yg ada jejaring dan data capture-nya. Begitulah cara kerja startup.

11. Adidas cuma jual sepatu. Nike jual sepatu plus fitness wearables yang memberikan data dan business opportunity baru dari data. Menjadikan sepatu bagian dari bisnis wellness dan sekaligus membongkar cara bisnis industri farmasi.

12. ITB dan UI hanya kasih kuliah untuk mahasiswa yang terdaftar dan diterima. Harvard dan TED X kasih bahan-bahan gratis yang mendatangkan data dan bisnis-bisnis baru.

13. Masih banyak lagi, mulai dari NASA, GE, Kalbe, Halodoc,Prudential, sampai bisnis-bisnis anak muda seperti Wahyoo, Reblood, dan Cari Ustadz. Semua hidup dan menghidupkan  ekosistem. Bedanya, mereka tidak cengeng atau saling menyalahkan.

14. Makanya di era #MO ini, kalau tidak mau pusing, jual sajalah ke superapps, Dijamin tiket pesawat jadi lebih terjangkau dan penumpang happy dapat layanan data di pesawat. Sudah dulu ya. Cheers, #MO.


STARLUX Pesan A350F dan A330neo Tambahan

Sebelumnya

Airbus dan ST Engineering Sepakat Dirikan Pusat MRO C295 di Singapura

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel AviaNews