post image
Presiden AS Donald Trump.
KOMENTAR

"TABUNGAN dikurangi investasi = ekspor minus impor".

Dulu. Dulu sekali. Waktu muda. Saya tidak bisa paham membaca rumus ekonomi makro seperti itu. Dan tetap tidak akan paham. Kalau waktu itu tidak menjadi aktivis mahasiswa.

Awalnya saya hanya bisa bengong. Saat ikut diskusi sesama aktivis. Kadang kami memang mengundang aktivis yang lebih senior. Yang sudah menjadi dosen. Atau asisten dosen. Dari berbagai universitas. Dari berbagai disiplin ilmu.

Senior-senior itulah yang 'meracuni' aktivis.

Saya tidak tahu apakah sekarang masih ada. Senior yang mau 'meracuni' mahasiswa seperti itu.

Mungkin sayalah yang paling bengong. Di topik seperti itu. Di madrasah aliyah tidak diajarkan hal-hal seperti itu. Yang tidak ada hubungannya dengan surga dan neraka itu. Apalagi setelah aliyah saya ke IAIN. Untungnya di aliyah ada pelajaran ilmu logika (ilmu mantik). Yang jadi bekal saya untuk mudah memahami yang serba duniawi itu.

Setelah diskusi saya pun harus selalu membaca artikel-artikel ekononi makro. Pun yang tidak saya mengerti. Tetap saya baca sampai selesai. Pun yang tidak saya sukai. Saya baca. Saya ingat ilmu petuah di pesantren: batu pun bisa berlubang oleh tetesan air. Hanya diperlukan konsistensi. Istikamah. Dalam waktu yang lebih lama. Dan diperlukan kesabaran yang tinggi.

Zaman itu ada majalah Prisma. Tiap terbit saya baca. Pinjam kanan-kiri. Isinya banyak yang tidak saya mengerti. Tapi rasanya bergengsi kalau ke mana-mana menenteng majalah itu.

Itulah majalah terbitan Lembaga Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Lembaga itu pula yang mendidik saya menjadi wartawan. Selama tiga bulan. Diasramakan di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Atas biaya salah satu yayasan dari Jerman.

Menteri-menteri ekonomi zaman awal Pak Harto selalu menulis artikel di situ. Mereka itulah yang disebut teknokrat. Yang dianggap sebagai peletak dasar-dasar ekonomi orde baru itu.

Pak Harto begitu tunduk pada para ekonom itu. Misalnya dalam hal pengendalian penduduk. Prof Dr Widjojo Nitisastro adalah ahli ekonomi demografi. Saya baca buku beliau di bidang ini. Yang awalnya juga tidak saya mengerti: pentingnya pengendalian pertumbuhan penduduk dalam pembangunan ekonomi. Yang Pak Harto lantas menerapkannya. Dengan all out. Lewat program 'dua anak cukup'. Secara sabar dan konsisten. Termasuk sabar dalam menghadapi tentangan para ulama. Yang tidak setuju KB.

Program ini seperti dilupakan. Sejak reformasi. Sampai sekarang.

Di bidang produksi dalam negeri, Pak Harto juga tunduk pada tim Widjojo itu. Baik bidang pertanian maupun industri.

Sampai-sampai Pak Harto disebut sebagai 'dikendalikan mafia Berkeley'. Para ekonom Pak Harto itu memang lulusan Berkeley. The University of California, Berkeley. Sebuah universitas di luar kota San Francisco. Di kota kecil Berkeley. Di tengah-tengah antara San Francisco dan Sacramento.

Saya sering mampir universitas itu. Hanya untuk lihat-lihat. Mampir dalam perjalanan menengok anak saya dulu. Yang kuliah di Sacramento.

Ketika saya lihat ia pacaran dengan 'gadis sampul majalah Gadis' saya sarankan pada pacarnya itu. Yang lulusan Universitas Pelita Harapan itu. Agar menyempatkan kuliah lagi di Amerika. Biar pun hanya sebentar. 'Pacarmu kan pendidikannya Amerika terus. Anda harus pernah kuliah di Amerika. Biar pun sebentar. Agar kelak, kalau jadi suami istri, bisa nyambung'.

Tanpa saya sarankan harus di mana, dia pilih kuliah di Berkeley itu. Sebentar. Mungkin karena dia tahu banyak tokoh lulusan Berkeley. Mungkin juga agar tidak terlalu jauh dari Sacramento.

"Pak Harto sangat cepat memahami ilmu ekonomi. Dulu beliau memang belajar dari kami. Tapi belakangan kami yang belajar dari beliau."

Saya lupa siapa yang mengucapkan itu. Tapi kalimat itu sangat terkenal. Yang menunjukkan betapa Pak Harto memilih tim ekonominya yang teknokrat asli. Yang menunjukkan betapa Pak Harto 'tunduk' pada para ekonom itu. Beliau rupanya menyadari lemah di bidang itu. Hanya lulusan SMP. Karirnya pun terus di militer.

Saya yakin Pak Harto juga tidak paham rumus "tabungan dikurangi investasi = ekspor dikurangi impor" itu. Awalnya.

Padahal pelaksanaan rumus seperti itulah yang bisa memajukan perekonomian negara.

Juga bisa dipakai untuk memahami mengapa terjadi perang dagang. Dan bagaimana hasilnya kelak.

Presiden Donald Trump adalah konglomerat besar. Tahu ekonomi sangat banyak. Tapi ia tidak termasuk ahli ekonomi. Bukan teknokrat.

Kebijakan perang dagangnya dinilai sebagai bukti bahwa ia bukan teknokrat. Bukan ahli ekonomi makro.


Merdeka Huey

Sebelumnya

Garuda Napas

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Disway