post image
Foto: Repro
KOMENTAR

Prakoso Permono,
Mahasiswa Magister Kajian Terorisme Universitas Indonesia

SABTU (14/9/2019) dini hari waktu Arab Saudi, dua fasilitas kilang minyak miliki perusahaan minyak terbesar di dunia milik pemerintah Saudi Aramco hancur terbakar.

Dalam video yang banyak beredar di berbagai pemberitaan dapat dilihat kobaran api dari kejauhan membumbung tinggi ke langit dengan latar dini hari. Kebakaran tersebut disinyalir merupakan dampak serangan pesawat nirawak alias drone yang diklaim sebagai serangan kelompok Houthi asal Yaman.

Hingga saat ini belum ada informasi jatuhnya korban jiwa dalam serangan tersebut, alih-alih korban jiwa serangan ini justru dianggap berpotensi mempengaruhi harga minyak dunia.

Melalui stasiun televisi dan berita Al-Masirah yang dikelola oleh kelompok Houthi Yaman serangan tersebut diklaim sebagai serangan yang dilancarkan kelompok Houthi dengan bantuan dari internal Arab Saudi.

Kelompok Houthi yang didukung oleh pemerintah Republik Islam Iran tersebut sejak Maret 2015 telah menjadi musuh utama pemerintah Arab Saudi dengan koalisinya pemerintah Yaman dalam konflik berdarah di Yaman yang juga disebut sebagai krisis kemanusiaan dunia, khususnya disebabkan oleh jatuhnya korban sipil dan kehancuran infrastruktur yang serius.

Serangan drone dalam teater konflik Saudi-Houthi Yaman juga bukan hal yang sepenuhnya baru. Pemberitaan mencatat tanggal 1 Agustus yang lalu milisi Houthi juga melancarkan serangan drone yang menewaskan 17 orang polisi Yaman di sebelah barat kota Aden.

Selain itu, Saudi Aramco sendiri telah menjadi target serangan drone milisi Houthi pada 17 Agustus lalu yang gagal menyebabkan korban jiwa maupun materiil. Oleh sebab itu pernyataan Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo yang menyebutkan Iran adalah dalang serangan Saudi Aramco Sabtu lalu patut dipertanyakan ulang.

Tentu dengan adanya precedent serangan drone milisi Houthi dan kenyataan bahwa aktor negara selalu bertindak secara hati-hati dan rasional maka sepatutnya serangan pada dua kilang minyak tersebut memang dijalankan milisi Houthi. Terlepas dari klaim-klaim sepihak tersebut, lebih menarik bagi kita untuk melihat nature dan modus dari serangan kilang Saudi Aramco Sabtu dini hari yang lalu.

Apakah serangan tersebut dapat dianggap terorisme? Pada siapakah serangan tersebut ditujukan? Apa modus dan latar belakangnya?

Ketiga pertanyaan tersebut lebih menarik untuk menjadi perhatian kita. Pertama-tama untuk memberikan label serangan atas kilang minyak Saudi Aramco merupakan aksi terorisme perlu terlebih dahulu kita temukan definisi ilmiah terorisme itu sendiri.

Menurut pakar studi terorisme Alex Schmid suatu fenomena dapat didefinisikan sebagai terorisme bila memenuhi beberapa kriteria seperti menggunakan kekerasan, bertujuan politis, berusaha menciptakan ketakutan, memiliki agenda efek psikologis, dan mengandung kepentingan publikasi sebagai medium meluasnya ketakutan.

Dari elemen-elemen tersebut dapat dirumuskan salah satu kata kunci terorisme yaitu pemilihan target bukan merupakan target akhir dan juga pentingnya keberadaan audiens yang menjadi objek terdampak teror melalui penciptaan ketakutan.

Lantas bagaimana dengan kasus drone Houthi terhadap kilang minyak Saudi? Serangan ini sepenuhnya berbeda dengan kasus-kasus terorisme besar dunia seperti 9/11 di Amerika Serikat atau bahkan rangkaian kasus Bom Bali, Bom Marriott, hingga Bom Thamrin di Indonesia. Seluruh serangan teror di atas sarat akan pesan-pesan ideologis, pembalasan, dan konsep-konsep yang bermuatan lebih luas dan mengandung suatu maksud ketimbang sekedar menghancurkan kilang minyak yang segera dapat diatasi pemerintah Saudi dengan cadangan minyaknya. Tentu tulisan ini tidak bermaksud mengesampingkan fakta bahwa serangan Saudi Aramco sebagai sebuah teror yang dimaknai secara letterlijk, melainkan berusaha mengulik intensi sesungguhnya serangan ini sehingga dapat membedakannya dengan rumpun terorisme biasa.

Pada faktanya drone Houthi yang kabarnya berjumlah 10 drone tersebut menyerang objek bangunan berupa kilang minyak. Terdapat dua aspek yang dapat dianalisis dalam kasus ini yaitu persoalan timing dan target.  Tentu saja bila 10 drone tersebut dapat terbang secara bebas dan masuk ke wilayah udara Saudi atau sekalipun sejak awal telah berada di dalam wilayah kedaulatan Saudi maka ada begitu banyak opsi target serangan yang khas dipilih kelompok teror. Misalnya representasi barat atau Amerika Serikat seperti waralaba makanan cepat saji, hotel-hotel, atau perwakilan diplomatik.

Atau pilihan objek otoritas Saudi seperti kantor polisi, pos militer, kantor pemerintahan, bahkan istana para pangeran. Serangan ini juga sama sekali tidak mengarah pada korban sipil yang jelas-jelas akan menjadi exposure publik dunia yang tinggi.

Demikian pula dengan pemilihan waktu serangan saat orang-orang tertidur pulas di kediaman masing-masing. Seluruhnya sama sekali tidak mengindikasikan serangan sebagai sebuah aksi terorisme yang khas dengan pilihan target yang tidak pandang buluh, kepentingan publikasi, dan usaha membangun ketakutan.

Serangan-serangan semacam ini pasti mengandung target simbolik. Artinya analisis ketiga serangan ini adalah analisis simbol yang menjadi sasaran serangan, kilang minyak Saudi Arabia Oil Company.

Apa atau siapakah target simbolik yang dilambangkan kilang minyak Saudi? Produsennya alias pemerintah Arab Saudi, kerajaan dan anggota kerajaan, Amerika sebagai payung keamanan Saudi? Perusahaan dan perdagangan minyak adalah simbol status quo dan stabilitas politik Arab Saudi, minyak dan keuntungan yang didatangkan darinya menjadi nilai tukar bagi kemapanan dan kenyamanan status quo rezim kerajaan Arab Saudi, atau juga simbol penggerak pesawat-pesawat dan alutsista tempur Arab Saudi di Yaman. Dari pendekatan simbolik serangan tersebut jelas menghapus kemungkinan konsep Houthi versus rakyat Arab Saudi.

Oleh sebab itu serangan Houthi atas kilang minyak Saudi berdasarkan definisi terorisme Schmid dan analisis di atas membuka peluang penyebutan selain terorisme terhadap aksi tersebut, atau bahkan menghilangkan intensi terorisme bagi publik Arab Saudi.

Sehingga serangan tersebut dapat diprediksi memiliki dua intensi yaitu sebagai simbol serangan terhadap agresi yang dilancarkan Saudi atas pendudukan Yaman yang berakibat munculnya krisis kemanusiaan yang begitu memprihatinkan atau justru dilihat dari perspektif stratejik merupakan sebuah strategi untung rugi dengan pertimbangan militer sebagai bentuk perlawanan pada rezim Saudi dan krisis kemanusiaan yang ditimbulkan di negeri Yaman.

Maka teater konflik Saudi-Yaman mesti segera diakhiri dan diselesaikan dengan rehabilitasi kemanusiaan secara menyeluruh dan bertanggung jawab.


PT Dahana Sudah Punya Pabrik Amonium Nitrat, Mimpi yang Jadi Kenyataan

Sebelumnya

Kapal Induk Jatayu Mulai Beroperasi di Laut Selatan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga