post image
USS Harry S. Truman
KOMENTAR

Oleh: Tim Litbang Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI)

OPERASI Angkatan Laut AS di Laut Merah, khususnya yang melibatkan USS Harry S. Truman dan pesawat-pesawatnya, mengungkapkan kerentanannya dalam menghadapi ancaman yang semakin canggih dari kelompok pemberontak Houthi. Meskipun kekuatan dan ukuran aset Angkatan Laut AS sangat besar, manuver dan teknologi yang digunakan oleh Houthi telah membuat militer AS gelisah, dan insiden kehilangan F/A-18 Super Hornet menegaskan kerentanannya ini.

Pada akhir April 2025, sebuah F/A-18E Super Hornet, bernilai lebih dari satu triliun rupiah, jatuh ke Laut Merah setelah upaya penghindaran yang gagal oleh kapal induk Harry S. Truman. Pesawat tersebut sedang dipindahkan secara manual melintasi dek kapal induk oleh traktor tarik ketika kapal melakukan manuver tajam untuk menghindari ancaman. Gerakan mendadak dan cepat ini, yang kemungkinan ditujukan untuk menghindari serangan rudal atau drone yang datang, mengakibatkan kecelakaan tragis. Traktor tarik yang bertugas memindahkan pesawat kehilangan kendali karena manuver kapal yang evasif menciptakan lingkungan yang tidak stabil, menyebabkan pesawat dan traktor jatuh ke laut.

Kecelakaan ini menimbulkan pertanyaan kritis mengenai apakah manuver kapal tersebut sudah direncanakan dengan matang. Meskipun jelas bahwa Harry S. Truman berusaha menghindari ancaman rudal dari Houthi, kehilangan F/A-18 tersebut mengindikasikan adanya kemungkinan kegagalan koordinasi atau reaksi berlebihan. Jika manuver tersebut merupakan bagian dari respons yang terencana dengan hati-hati, pesawat tidak akan berada dalam posisi rentan untuk jatuh ke laut. Fakta bahwa pesawat tersebut dipindahkan secara manual dan tidak dalam posisi siap terbang yang sepenuhnya aman semakin memperumit situasi, menunjukkan kurangnya kesiapan atau situasi yang tak terduga yang memaksa kapal induk untuk bertindak impulsif.

Insiden ini mengungkapkan bahwa Harry S. Truman dan kelompok tugasnya, meskipun memiliki sumber daya dan kemampuan teknologi yang besar, tidak sepenuhnya siap untuk menangani skala dan sifat ancaman yang ditimbulkan oleh Houthi. Keputusan kapal untuk melakukan manuver evasif sebagai respons terhadap ancaman yang datang menunjukkan bahwa Truman berusaha untuk melawan efektivitas teknologi rudal dan drone Houthi. Namun, dalam kasus ini, manuver tersebut mengakibatkan hilangnya aset canggih dan mahal—F/A-18—yang menunjukkan kegagalan dalam kesiapan operasional.

Lebih lanjut, kegagalan ini dalam menangani ancaman yang ditimbulkan oleh Houthi menunjukkan ketidakseimbangan yang semakin besar antara militer AS dan lawan-lawannya. Houthi, meskipun memiliki sumber daya terbatas dibandingkan dengan kekuatan militer AS, telah mengadaptasi teknologi canggih, seperti drone dan rudal, untuk keuntungan mereka. Senjata-senjata dengan biaya rendah namun sangat efektif ini telah terbukti sulit untuk dilawan, bahkan oleh beberapa sistem pertahanan udara paling canggih di dunia.

Ketergantungan Angkatan Laut AS pada sistem pertahanan udara canggih, termasuk Aegis dan CIWS (Close-In Weapon Systems), tidak dapat menjamin ketidakterjangkauan terhadap serangan rudal dan drone. Houthi berhasil melewati sistem-sistem ini, seperti yang dibuktikan dengan hilangnya beberapa drone MQ-9 Reaper di atas Yaman. Drone-drone ini digunakan untuk pengintaian dan serangan terhadap posisi Houthi, namun bahkan dengan teknologi canggih dan intelijen yang dimiliki AS, drone-drone ini tetap ditembak jatuh. Kehilangan beberapa Reaper—drone yang bernilai jutaan dolar masing-masing—menggambarkan adanya kesenjangan yang serius dalam kemampuan Angkatan Laut untuk melindungi aset bernilai tinggi tersebut dari musuh yang semakin gesit dan penuh daya kreativitas.

AS telah mengakui efektivitas serangan-serangan Houthi ini, yang mengungkapkan betapa rentannya operasi militer dalam menghadapi senjata-senjata dengan biaya rendah namun berdampak besar. Houthi juga telah menunjukkan kemampuan yang semakin mahir dalam serangan drone jarak jauh, seperti yang terlihat pada serangan terhadap Israel pada Juli 2024, di mana sebuah drone berhasil melintasi lebih dari 2.600 kilometer dan menyebabkan korban. Serangan ini lebih lanjut menyoroti kecanggihan teknologi drone Houthi, yang telah menggeser keseimbangan kekuatan di kawasan tersebut dan menimbulkan ancaman eksistensial bagi pasukan AS dan sekutunya di Timur Tengah.

Kehilangan F/A-18, bersama dengan jatuhnya MQ-9 Reapers, menunjukkan kegagalan signifikan dalam kemampuan Angkatan Laut AS untuk mengamankan armadanya dari ancaman yang berkembang yang ditimbulkan oleh aktor non-negara seperti Houthi. Penggunaan drone, baik untuk pengintaian atau serangan bersenjata, telah memperkenalkan dimensi baru dalam peperangan yang kesulitan untuk dilawan oleh sistem pertahanan tradisional. Meskipun sistem pertahanan udara militer AS sangat canggih, mereka semakin ditantang oleh kemampuan beradaptasi musuh seperti Houthi, yang berhasil memanfaatkan celah-celah dalam sistem ini.

Kerentanannya terhadap serangan drone dan rudal, bahkan terhadap aset militer paling canggih sekalipun, seperti Harry S. Truman dan pesawat-pesawatnya, adalah pengingat yang menakutkan tentang bagaimana aturan perang sedang bergeser. Militer AS, meskipun tetap unggul dalam teknologi tempur tradisional, semakin terpojok dalam menghadapi senjata yang murah, dapat beradaptasi, dan efektif yang digunakan oleh kelompok dengan sumber daya terbatas namun kemampuan inovatif.

Dalam situasi ini, AS merasa gelisah karena terpaksa memikirkan kembali strateginya dalam menghadapi ancaman asimetris. Kehadiran drone dan rudal, terutama yang berasal dari aktor seperti Houthi yang didukung oleh Iran, semakin memperumit kalkulasi militer. AS mungkin memiliki keunggulan teknologi, tetapi Houthi telah membuktikan bahwa dalam peperangan modern, kemampuan beradaptasi dan inovasi dapat mengatasi keunggulan teknologi semata.

Perubahan dalam keseimbangan kekuatan antara AS dan Houthi ini menandakan perlunya evaluasi ulang strategi militer dan sistem pertahanan. Angkatan Laut AS harus belajar mengintegrasikan teknologi anti-drone dan anti-rudal ke dalam operasinya dengan cara yang memastikan keselamatan personelnya dan perlindungan asetnya. 

Jika AS terus bergantung pada sistem pertahanan tradisional tanpa beradaptasi dengan perubahan sifat peperangan, maka insiden seperti kehilangan F/A-18 Super Hornet bisa terjadi lagi, yang dapat memiliki dampak serius bagi operasi AS di Timur Tengah dan seterusnya. AS harus menyadari bahwa era peperangan konvensional semakin digantikan oleh ancaman yang tidak konvensional, dan kegagalan untuk beradaptasi bisa membuatnya terpapar di wilayah yang semakin tidak stabil seperti Yaman.


3 Personel TNI AU Berbagi Pengalaman Transformasional Selama Pelatihan Militer di Amerika Serikat

Sebelumnya

Indonesia Bergabung dalam Proyek Jet Tempur Turki, Amerika Pertanyakan Perkembangan Teknologi, Aliansi dan Stabilitas Kawasan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Military