Oleh: Wisnu Darjono, Senior Lecturer Indonesian Aviation Polytechnic Curug (Politeknik Penerbangan Indonesia Curug), Indonesia
TULISAN Bapak Chappy Hakim berjudul “Reevaluating Indonesia’s Air Defense Concept” yang dimuat di The Jakarta Post patut diapresiasi sebagai kontribusi strategis yang menggugah kesadaran publik dan para pengambil kebijakan terhadap urgensi reformulasi konsep pertahanan udara nasional. Dalam konteks meningkatnya kompleksitas ancaman global dan transformasi teknologi militer modern, tulisan tersebut bukan sekadar pengingat, melainkan sebuah panggilan nasional untuk merevisi arah dan paradigma pertahanan udara Indonesia.
Tulisan tersebut menempatkan urgensi pertahanan udara sebagai komponen krusial dalam menjaga kedaulatan dan harga diri bangsa. Saya sepenuhnya sependapat bahwa saat ini, Indonesia membutuhkan evaluasi menyeluruh terhadap konsep pertahanannya—tidak hanya dari sudut militer semata, tetapi juga secara lintas sektor: politik, sosial, ekonomi, dan aspek kedaulatan negara.
1. Aspek Politik: Visi Pertahanan yang Masih Reaktif dan Elitis
Strategi pertahanan Indonesia masih sangat didominasi oleh pendekatan berbasis kekuatan darat, yang merupakan warisan paradigma keamanan Orde Baru. Sayangnya, hingga kini belum terlihat kesungguhan untuk menggeser narasi ini ke arah pertahanan berbasis air power dan cyber capability yang lebih adaptif terhadap ancaman kontemporer. Dalam banyak kebijakan, pertahanan udara hanya ditempatkan sebagai pelengkap, bukan sebagai poros utama dalam arsitektur deterrence nasional. Padahal, dalam doktrin pertahanan negara-negara maju, supremasi udara merupakan fondasi utama untuk menjaga keunggulan strategis.
2. Aspek Sosial: Ketidaksiapan Masyarakat Sipil dan Kurangnya Literasi Pertahanan
Pertahanan udara modern bukan hanya tanggung jawab TNI AU, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif masyarakat sipil. Namun, realitas saat ini menunjukkan minimnya literasi publik tentang ancaman udara, kesiapsiagaan sipil, serta pentingnya integrasi sistem sipil-militer dalam konteks pertahanan total. Padahal, dalam era drone, rudal presisi tinggi, dan perang elektronik, peran komunitas lokal, sistem radar sipil, serta pusat informasi publik sangat menentukan keberhasilan mitigasi ancaman.
3. Aspek Ekonomi: Ketergantungan Impor dan Ketidakmandirian Industri Strategis
Ketergantungan Indonesia pada pembelian alutsista dari luar negeri adalah persoalan serius. Selain membebani anggaran negara, ketergantungan ini juga menciptakan kerentanan geopolitik. Sayangnya, upaya alih teknologi kerap mandek di tengah jalan, dan BUMN strategis seperti PT Dirgantara Indonesia dan LEN Industri belum mendapatkan ruang kepemimpinan yang memadai. Tanpa roadmap industrialisasi yang jelas dan berkelanjutan, Indonesia akan selalu menjadi konsumen teknologi pertahanan, bukan produsen mandiri.
4. Aspek Kedaulatan Negara: Ancaman Tak Kasatmata di Era Digital
Di era serangan non-konvensional, kedaulatan udara bukan lagi sekadar pengawasan terhadap wilayah fisik. Ancaman kini datang dalam bentuk penetrasi digital, serangan siber terhadap radar, manipulasi satelit, hingga rudal hipersonik yang tak terdeteksi. Dalam kondisi ini, batas wilayah udara bukan hanya harus dijaga secara fisik, tetapi juga secara elektronik. Kedaulatan udara menjadi titik paling rapuh jika kita tidak memiliki sistem deteksi dini dan intersepsi yang modern serta responsif.
Langkah Strategis yang Mendesak
Dalam menjawab tantangan-tantangan tersebut, diperlukan langkah nyata dan berani dari negara. Evaluasi terhadap konsep pertahanan udara Indonesia bukanlah pekerjaan jangka pendek, melainkan agenda strategis nasional. Beberapa langkah yang perlu segera diambil antara lain:
1. Merumuskan ulang Doktrin Pertahanan Nasional, dengan menempatkan kekuatan udara sebagai komponen utama strategi pertahanan dan deterrence.
2. Mengintegrasikan sistem pertahanan sipil-militer, termasuk pembangunan sistem radar nasional, penguatan komunikasi berbasis satelit, dan interoperabilitas antar instansi.
3. Menyusun peta jalan industri pertahanan jangka panjang, berbasis insentif fiskal, keberlanjutan riset, dan komitmen terhadap alih teknologi.
4. Mengubah pola penganggaran pertahanan, dari pendekatan persentase PDB menjadi pendekatan berbasis efektivitas dan prioritas strategis.
5. Membangun budaya kesadaran pertahanan, mulai dari pendidikan dasar hingga pelibatan generasi muda dalam literasi keamanan nasional dan wawasan kebangsaan.
Penutup: Saatnya Bangkit sebagai Bangsa yang Siap Menghadapi Langit
Tanggapan terhadap tulisan Pak Chappy Hakim ini tidak hanya dimaksudkan sebagai penguatan gagasan, tetapi juga sebagai dorongan agar reformasi pertahanan udara Indonesia tidak berhenti di level wacana. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi strategis di persimpangan lalu lintas udara global. Tanpa kekuatan udara yang memadai, kedaulatan kita hanya tinggal klaim normatif yang mudah dipertanyakan.
Sebagai bangsa yang berdaulat, kita harus sadar bahwa kekosongan di langit adalah undangan bagi ancaman. Maka sudah saatnya kita menjadikan langit Indonesia bukan sekadar ruang lalu lintas, tetapi ruang kedaulatan, kehormatan, dan masa depan bangsa.
KOMENTAR ANDA