Oleh: Peter F. Gontha
SUDAH terlalu lama Garuda Indonesia menjadi cermin dari kelemahan manajemen BUMN kita: politik lebih kuat daripada profesionalisme.
Maskapai kebanggaan nasional ini tidak kekurangan aset, armada, atau potensi pasar — yang hilang adalah keberanian untuk memutus rantai politik dalam manajemen.
Tiga tahun lalu, ketika pemerintah mengumumkan restrukturisasi besar-besaran, banyak yang berharap Garuda akan lahir kembali sebagai perusahaan sehat. Namun apa yang terjadi? Bukannya membaik, negara justru menanggung kerugian triliunan rupiah.
Beban utang menumpuk, kontrak sewa pesawat tidak efisien, dan keputusan manajerial banyak didikte oleh kepentingan jangka pendek. Semua karena satu hal: tekanan politik. inipun disetujui Komisi 6 DPR yang dilobi tapi nga ngerti apa2!
Manajemen Lokal Selalu Terjebak Tekanan
Direktur utama dan komisaris lokal, betapa pun berpengalaman, sulit bekerja independen dalam sistem yang sarat intervensi.
Mereka harus berhadapan dengan tekanan dari kementerian, serikat pekerja, hingga kepentingan politik yang sering bertentangan dengan logika bisnis.
Dalam kondisi seperti itu, setiap keputusan bisnis menjadi kompromi politik.
Dan kompromi, dalam dunia korporasi, hampir selalu berakhir dengan kegagalan.
Kita lupa bahwa maskapai penerbangan adalah bisnis dengan disiplin ekstrem — dari keuangan, keselamatan, hingga reputasi global. Tidak ada ruang untuk negosiasi berbasis “asal bapak senang”
Mengapa Harus Orang Asing
Solusinya mungkin tidak populer, tetapi jelas: Garuda Indonesia butuh direktur utama asing.
Seseorang dengan reputasi internasional, bebas dari jaringan politik domestik, dan hanya fokus pada penyelamatan komersial perusahaan.
Kenapa harus asing?
Karena eksekutif asing datang dengan tanggung jawab reputasi global.
Ia tidak akan berani mengambil keputusan bodoh atau manipulatif, sebab setiap langkahnya akan dinilai oleh dunia penerbangan internasional.
Ia tidak punya beban politik, tidak punya “balas jasa”, dan tidak punya kepentingan selain hasil.
Negara-negara lain telah membuktikan ini. Malaysia Airlines, Air India, hingga Gulf Air pernah mempercayakan kursi CEO mereka kepada profesional asing ketika terjebak dalam krisis struktural — dan hasilnya nyata: efisiensi meningkat, kredibilitas kembali, dan investor percaya lagi.
Garuda Butuh Operasi, Bukan Kosmetika
Garuda tidak butuh make-up politik; ia butuh operasi menyeluruh.
Restrukturisasi sejati berarti berani memutus kontrak tidak efisien, menata ulang struktur utang, dan menjadikan profitabilitas sebagai ukuran, bukan kepuasan pejabat.
Selama jabatan direksi dijadikan arena politik, restrukturisasi Garuda tidak akan pernah beres.
KOMENTAR ANDA