OPERASI Jembatan Udara dilaksanakan di awal tahun 1980 sebagai respon dari pemogokan pilot Garuda yang dimulai pada tanggal 29 Januari sampai 4 Februari 1980 dan menghiasi halaman muka seluruh media massa di Indonesia.
Ketika pemerintah Republik Indonesia mencanangkan Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Irian Barat dari kolonialisme Belanda pada tahun 1962, para awak dari maskapai penerbangan Garuda juga dilibatkan. Komando Tertinggi Trikora membentuk Wing Garuda (WG) dan Wing Garuda 011 (WG 011) yang merupakan kekuatan bala cadangan udara untuk mendukung kekuatan Angkatan Udara.
Pada masa Dwikora, penerbangan sipil memainkan peran penting dalam mendukung operasi militer, seperti penggunaan bandar udara sipil untuk kegiatan militer dan pemanfaatan pesawat sipil untuk logistik. Selain itu, penerbangan sipil juga tetap beroperasi untuk mendukung aktivitas ekonomi dan transportasi di dalam negeri.
Pada operasi penyerbuan Timor Timur tahun 1975, maskapai penerbangan sipil dilibatkan dalam operasi dukungan administrasi logistik.
Dalam bencana tsunami di Aceh tahun 2004, penerbangan sipil kembali menjadi tulang punggung evakuasi dan pengiriman bantuan kemanusiaan. Semua ini menunjukkan betapa pentingnya peran sektor penerbangan sipil dalam konteks ketahanan nasional, baik sebagai instrumen mobilitas rakyat maupun pendukung kekuatan negara.
Namun sekarang, setidaknya dalam dua dekade belakangan ini kondisi itu telah berubah secara fundamental. Armada penerbangan sipil Indonesia tidak lagi berada di bawah kendali atau kekuasaan pemerintah. Negara praktis tidak lagi memiliki maskapai penerbangan nasional selain Garuda Indonesia, itupun sudah tidak lagi seratus persen milik negara.
Hampir seluruh penerbangan domestik dan internasional kini dikendalikan oleh entitas swasta yang berorientasi pada keuntungan, bukan kepentingan strategis negara. Dalam situasi seperti ini, Indonesia menghadapi kerentanan yang serius yaitu ketika kepentingan bisnis bertentangan dengan kepentingan publik, maka negara tidak lagi memiliki instrumen langsung untuk bertindak cepat di wilayah udara nasional.
Ketergantungan dan Kerapuhan Sistemik
Setelah empat dekade lebih sejak Operasi Jembatan Udara, Indonesia menghadapi kenyataan pahit bahwa jejaring penerbangan nasional telah berubah dari instrumen negara menjadi instrumen pasar. Dari misi utama pelayanan masyarakat dan dukungan administrasi logistik tata kelola pemerintahan menjadi entitas bisnis semata.
Garuda Indonesia satu-satunya flag carrier yang tersisa sudah tidak lagi sepenuhnya mencerminkan kekuasaan dan kendali negara di udara. Sementara maskapai lain yang beroperasi di Indonesia sepenuhnya tunduk pada logika bisnis swasta, tanpa keterikatan pada misi kebangsaan.
Ketiadaan kendali langsung pemerintah atas armada udara sipil merupakan bentuk kerapuhan struktural. Bila terjadi sesuatu, entah krisis politik, bencana alam besar, atau disrupsi global terhadap rantai pasok, maka negara akan lumpuh karena tidak memiliki armada sendiri untuk menggerakkan logistik, bantuan, atau operasi darurat.
Penerbangan adalah urat nadi dari negara kepulauan seperti Indonesia; kehilangan kendali atasnya sama dengan kehilangan kemampuan untuk menjamin keselamatan rakyat di seluruh pelosok nusantara. Sistem perhubungan udara nasional adalah salah satu alat utama pemersatu bangsa, penjaga eksistensi NKRI.
Kerapuhan ini semakin diperparah oleh orientasi pasar yang serba pragmatis. Maskapai akan berhenti terbang bila tidak menguntungkan. Sementara negara tidak memiliki sarana sendiri untuk mengisi kekosongan pelayanan publik. Dalam krisis pandemi COVID-19 misalnya, terlihat jelas betapa rentannya sistem transportasi udara yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar tanpa cadangan strategis milik negara.
Maskapai sebagai Instrumen Kedaulatan
Dalam perspektif geopolitik dan pertahanan, penerbangan sipil tidak dapat dipisahkan dari aspek kedaulatan negara. Ia bukan hanya alat transportasi, tetapi juga bagian dari national air power.
Negara-negara besar menyadari hal ini dengan sangat serius. Amerika Serikat, misalnya, memiliki sistem Civil Reserve Air Fleet (CRAF), yang memungkinkan pemerintah memobilisasi armada sipil untuk mendukung operasi militer dan kemanusiaan. Inggris, Prancis, Rusia, dan Tiongkok pun menjaga maskapai nasional mereka dengan status dan perlindungan hukum khusus sebagai aset strategis negara.
Indonesia yang terdiri atas lebih dari 17.000 pulau dan memiliki jalur udara lintas strategis di antara dua samudra dan dua benua semestinya memiliki kepentingan jauh lebih besar dalam mengendalikan armada udaranya.
Tanpa maskapai nasional yang dimiliki dan dikelola secara penuh oleh negara, konsep sovereignty in the air menjadi semu. Negara bisa berdaulat secara hukum, tetapi lumpuh secara operasional ketika udara nasional dikuasai sepenuhnya oleh entitas pasar, alias domain bsinis semata.
Empat Pilar Maskapai Nasional
Untuk memastikan kedaulatan dan ketahanan sistem penerbangan, Indonesia seharusnya memiliki setidaknya empat jenis maskapai nasional yang dikendalikan oleh negara secara langsung maupun melalui mekanisme state strategic holding:
1. Maskapai Pembawa Bendera (Flag Carrier). Menjadi representasi diplomasi udara bangsa. Ia mengemban misi ekonomi sekaligus simbol prestise negara di forum internasional. Kepemilikan dan arah strateginya harus tetap berada di tangan pemerintah agar tidak kehilangan jati diri nasional.
2. Maskapai Perintis. Melayani daerah-daerah terpencil, perbatasan, dan pulau-pulau terluar yang tidak ekonomis bagi swasta. Maskapai ini adalah perwujudan nyata kehadiran negara di pelosok, bukan sekadar layanan transportasi, melainkan sarana integrasi nasional. Sarana pelayanan masyarakat.
3. Maskapai Charter Nasional. Fleksibel untuk mendukung operasi pemerintahan, diplomatik, militer non-tempur, dan kemanusiaan. Keberadaannya sangat vital untuk misi evakuasi warga negara, pengiriman bantuan bencana, atau operasi pengawasan udara tanpa bergantung pada swasta. Demikian pula dalam memfasilitasi investor dalam dan luar negeri di Indonesia.
4. Maskapai Kargo Khusus. Dalam era digital dan e-commerce, logistik udara menjadi tulang punggung ekonomi. Maskapai kargo milik negara akan menjamin pasokan strategis tetap berjalan meski dalam kondisi perang, embargo, atau krisis global. Termasuk cita cita menciptakan pola satu harga dari Sabang hingga Merauke, sebagai bagian dari pembangunan nasional dalam aspek pemerataan kesejahteraan rakyat.


KOMENTAR ANDA