Oleh: Radhar Tribaskoro
DI sebuah sore yang lengang—ketika berita kadang melintas seperti angin malas—dua kabar dari dua titik Indonesia muncul, tidak saling berhubungan, tapi seperti sepasang cermin yang memperlihatkan sesuatu yang lebih tua dari republik ini: seorang negara yang tiba-tiba tampak ringkih di tempat ia seharusnya paling kuat.
Yang pertama datang dari Jakarta, dari ruang rapat Kementerian Keuangan. Purbaya, menteri yang gemar bicara lugas—kadang terlalu lugas bagi selera birokrasi—mengancam akan membubarkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ia menyebut keluhan-keluhan publik, penyelundupan, pelayanan yang melelahkan, dan sebuah statistik yang menampar: indikator kinerja yang jalan di tempat. Di luar gedung itu, orang-orang bergumam: apakah mungkin sebuah institusi negara yang begitu strategis, yang menjadi gerbang barang-barang keluar masuk, dibubarkan seperti menutup sebuah warung yang tak laris?
Di kabar lain, lebih jauh dari pusat, ada sebuah bandara yang lebih sunyi dari seharusnya. Bandara IMIP di Morowali—runway lurus yang memanjang di wilayah nikel yang sibuk. Pesawat Airbus bisa mendarat di sana. Tenaga kerja asing bisa keluar-masuk tanpa keramaian. Namun yang paling mencolok justru yang tidak ada. Tidak ada imigrasi. Tidak ada Bea Cukai. Tidak ada Polisi Udara, tidak Angkasa Pura, tidak pula TNI. Sebuah bandara yang hidup tanpa negara. Seperti rumah besar yang pintunya terbuka, ditinggalkan penghuninya, lalu dikelola oleh tetangga yang kaya dan rajin merawat halaman.
Apa persamaan antara dua kabar ini? Mungkin kita sedang melihat negara yang tidak lenyap, melainkan meluntur. Seperti tulisan yang lama sekali terkena matahari, lambat-lambat memudar hingga bentuknya tinggal samar. Ia masih ada, tapi tak bisa dibaca.
DJBC masih berdiri, lengkap dengan seragam, kantor, dan jargon modernisasi. Tapi negara hadir di situ dengan tubuh yang pincang. Ia melihat pungli, mendengar keluhan importir, mencatat penyelundupan yang lolos seperti debu di celah pintu—namun ia tidak bergerak. Lalu seorang menteri datang, mengetuk meja, mengancam akan menghidupkan kembali SGS, perusahaan Swiss yang dulu disewa Soeharto pada 1985 ketika Bea Cukai dipenuhi cerita-cerita gelap yang tak pernah sepenuhnya dibersihkan oleh sejarah.
Ancaman itu bukan sekadar janji reformasi. Itu pengakuan bahwa negara, di gerbang barangnya sendiri, sedang kalah.
Di Morowali, negara bahkan tidak mencoba kalah. Ia menyerah. Ia absen dalam senyap.
Kita bisa bertanya, seperti biasa, siapa yang salah. Tapi Indonesia selalu lebih rumit dari pertanyaan-pertanyaan sederhana.
Masalah DJBC bukanlah soal oknum—kata yang terlalu sering kita pakai untuk menyembunyikan banjir di balik setitik hujan. Masalahnya adalah budaya sistemik: sebuah institusi yang terlalu lama hidup dalam kedekatan dengan kuasa informal, dalam relasi panjang antara birokrasi dan kepentingan-kepentingan ekonomi yang rajin menyuapi. Dalam ruang seperti itu, peraturan mudah berubah menjadi negosiasi. Integritas ditukar dengan kehati-hatian agar tidak mengganggu siapa pun yang tak boleh diganggu.
Maka ancaman bubar itu terdengar seperti teriakan di ruangan yang penuh orang tidur. Nyaring, tapi belum tentu mengubah apa-apa. Karena yang dibutuhkan bukan kemarahan, melainkan pembedahan: digitalisasi yang memaksa, audit yang menyakitkan, pemisahan tugas, dan yang terpenting, kultur baru yang tak lagi menganggap kewenangan sebagai hak mengambil keuntungan.
Tapi di Morowali, masalahnya justru sebaliknya: bukan kehadiran negara yang disfungsional, melainkan ketiadaan negara yang sempurna.
Bandara IMIP bukan bandara sembarangan. Ia adalah gerbang utama kawasan industri terbesar di Indonesia, zona yang menggerakkan ratusan triliun rupiah dalam produksi nikel—komoditas strategis yang menjadi tulang punggung transisi energi global. Di wilayah seperti itu, negara seharusnya hadir dengan seluruh kekuatan simboliknya. Tapi di sana yang ada hanyalah perusahaan: menjemput, mengantar, mencatat, menjaga gerbangnya sendiri.
Mereka yang keluar masuk bandara itu melintas tanpa prosedur imigrasi seperti di Jakarta. Barang-barang tertentu bisa bergerak tanpa disaksikan Bea Cukai. Pesawat asing bisa mendarat tanpa negara tahu apa yang dibawa oleh anginnya.
Dalam politik modern, bandara adalah titik kedaulatan. Ia adalah tempat di mana negara membuktikan bahwa ia ada. Maka bandara tanpa negara bukan sekadar kekurangan SOP. Ia adalah penyerahan kedaulatan tanpa keputusan politik. Sebuah pengakuan senyap bahwa negara tak sanggup mengatur apa yang telah ia buka.
Di sinilah, mungkin, kedua kisah itu bertemu: DJBC yang mau dibubarkan, dan bandara IMIP yang negara tak pernah hadir untuk dibubarkan atau diperbaiki.
Keduanya memperlihatkan hal sama: bahwa negara dapat runtuh tanpa huru-hara, tanpa revolusi, bahkan tanpa ada yang benar-benar menyadarinya. Ia runtuh melalui kelalaian.
Bagaimana masyarakat harus bersikap? Dalam kasus DJBC, publik perlu mengingatkan bahwa ancaman pembubaran bukan tujuan. Itu hanya jalan pintas imajinatif ketika suatu lembaga kehilangan kepercayaannya. Yang kita perlukan bukan merobohkan tembok, melainkan memastikan tembok itu lurus—karena tanpa kepabeanan nasional, negara kita akan menggantungkan pintunya pada orang lain. SGS mungkin efisien, seperti dulu. Tapi mereka bukan pemilik rumah ini.
Transparansi, digitalisasi, audit independen, publikasi waktu layanan, whistleblowing yang diproteksi—itulah yang membuat negara hadir kembali di instansi yang telah terlalu lama nyaman dalam bayangannya sendiri.
Di Morowali, sikap masyarakat harus berbeda. Kita harus menanyakan pertanyaan paling sederhana, yang justru paling sulit dijawab: mengapa negara tidak ada di sana? Mengapa kedaulatan udara dapat diprivatisasi dengan begitu mudah, di sebuah kawasan industri yang begitu penting?
Pertanyaannya bukan tentang Tiongkok, bukan tentang investasi, bukan tentang bandara, bahkan bukan tentang korporasi. Pertanyaannya adalah: di mana negara ketika ia dibutuhkan?
Negara tidak seharusnya iri pada efisiensi perusahaan. Negara hanya perlu mengingat bahwa ia tak boleh membiarkan gerbangnya dijaga orang lain.
Di antara dua kabar itu, kita melihat garis yang perlahan-pelan ditarik: negara yang hadir tapi tak berdaya, dan negara yang tak hadir karena berutang budi. Kita melihat republik yang berdiri tegak di atas konstitusi, tetapi lututnya lemah di hadapan kekuasaan ekonomi. Kita melihat bagaimana birokrasi bisa menjadi hantu—lengkap dengan struktur, logo, dan seragam—namun melayang tanpa kemampuan untuk benar-benar menyentuh tanah.
Mungkin, pada akhirnya, inilah pelajaran yang ditawarkan oleh dua gerbang itu: gerbang barang dan gerbang bandara. Negara tidak akan roboh oleh badai besar. Ia roboh oleh retakan kecil yang dibiarkan, oleh celah yang tak pernah ditutup, oleh tugas-tugas sederhana yang dilupakan.


KOMENTAR ANDA