Keempat maskapai ini akan membentuk arsitektur jejaring penerbangan nasional yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga kuat secara geopolitik dan tahan terhadap guncangan global.
Tata Kelola yang Terfragmentasi
Masalah berikutnya terletak pada tata kelola yang terfragmentasi. Otoritas penerbangan di Indonesia tersebar di berbagai lembaga Kementerian Perhubungan, BUMN, AirNav Indonesia, Angkasa Pura, dan lainnya tanpa satu strategi besar yang menyatukan visi penerbangan nasional.
Tidak ada grand design yang menjadikan sistem penerbangan sebagai satu kesatuan national network system. Akibatnya, kebijakan sering bersifat sektoral, tidak sinkron, bahkan tumpang tindih. Kegagalan fatal dari pembangunan International Airport Kertajati dan gulung tikarnya beberapa maskapai penerbangan seperti MNA dan babak belurnya Maskapai Garuda adalah contoh dari itu semua.
Kecenderungan untuk memandang penerbangan sebagai semata urusan bisnis menyebabkan negara kehilangan kendali terhadap dimensi strategisnya. Bandara dibangun mengikuti arus wisata, bukan strategi pertahanan. Jalur penerbangan dibuka berdasarkan potensi keuntungan, bukan pemerataan wilayah. Ini semua adalah tanda-tanda bahwa tata kelola jejaring penerbangan nasional telah kehilangan arah kebangsaannya.
Menyalakan Kembali Lampu Hijau
Krisis tata kelola penerbangan nasional harus direspons dengan pendekatan national resilience framework. Negara perlu kembali memegang kendali atas sistem penerbangan sipil dalam jejaring perhubungan udara nasional, dengan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
• Revitalisasi Garuda Indonesia sebagai flag carrier yang benar-benar dimiliki negara, baik dari sisi saham maupun arah kebijakan korporasinya.
• Pembentukan Maskapai Perintis Nasional Permanen, bukan berbasis kontrak tahunan, melainkan bagian dari kewajiban negara yang dijamin oleh undang-undang.
• Pendirian Maskapai Charter dan Kargo Negara melalui sinergi BUMN strategis seperti Pertamina, Pos Indonesia, dan PTDI untuk efisiensi serta kesiapan tanggap darurat.
• Pembentukan Dewan Kedirgantaraan Nasional, lembaga lintas sektor yang mengintegrasikan kebijakan transportasi, pertahanan, dan kedaulatan udara di bawah satu kerangka strategi nasional.
Langit adalah Milik Bangsa
Ketiadaan maskapai milik negara adalah alarm keras bagi sebuah republik kepulauan. Negara tanpa armada udara nasional ibarat kapal besar tanpa mesin, tampak megah di peta, tetapi tak bergerak dalam realitas.
Dalam dunia yang semakin tergantung pada mobilitas dan kecepatan, kontrol atas langit bukan lagi simbol, melainkan syarat mutlak bagi keberlanjutan eksistensi dan martabat sebagai bangsa. Perlu digaris bawahi bahwa wilayah udara nasional adalah SDA yang merujuk pada konnstitusi, harus dikuasai negara dan di peruntukkan bagi sebesar besarnya kesejahteraan rakyat
Lampu merah telah menyala di tata kelola jejaring penerbangan nasional. Sudah saatnya negara menyalakan kembali lampu hijaunya untuk mengembalikan udara Indonesia sebagai milik bangsa, bukan milik pasar.
Karena sebagaimana laut menyatukan nenek moyang kita, maka udara harus menjadi pemersatu anak cucu kita insan dirgantara yang menjaga langit nusantara demi masa depan Indonesia yang berdaulat.
Namun, ada satu fakta yang menggugah kesadaran kita tetap ada yakni Indonesia masih belum sepenuhnya menguasai wilayah udara kedaulatannya sendiri. Di kawasan perbatasan kritis di atas Selat Malaka salah satu koridor udara tersibuk dan paling strategis di dunia sebagian wilayah udara teritori Indonesia masih dikelola oleh otoritas penerbangan asing.
Ini bukan sekadar persoalan pengaturan lalu lintas udara, ini adalah persoalan kedaulatan itu sendiri. Selama kendali atas kawasan udara tersebut belum sepenuhnya berada di tangan Indonesia, maka cita-cita akan kemerdekaan yang utuh di udara masih belum tercapai sepenuhnya.


KOMENTAR ANDA