post image
KOMENTAR

Oleh: Chappy Hakim, Pusat Studi Air Power Indonesia 


Karena itu, muncul kesan seolah-olah otoritas negara hanya hadir di atas kertas, sementara di lapangan korporasi berjalan dengan “aturan main sendiri”.


ISU bandara privat di kawasan industri Morowali (Bandara khusus PT Indonesia Morowali Industrial Park/IMIP) yang dikomentari Menhan sebagai situasi “serasa negara dalam negara” bukan sekadar kehebohan media, tetapi menyentuh jantung soal kedaulatan negara, tata kelola ruang udara, dan hubungan negara dengan korporasi.

Menhan Sjafrie Sjamsoeddin mengungkap keanehan ketika mendarat di bandara PT IMIP, karena tidak ada petugas imigrasi, bea cukai, maupun aparat negara lain yang lazimnya hadir di sebuah bandara, sementara seluruh operasi dipegang pihak swasta. Kondisi ini digambarkan Satgas PKH (Penertiban Kawasan Hutan) bak “negara di dalam negara” karena pesawat dapat keluar masuk tanpa pengawasan resmi.

Untuk memahami duduk perkaranya, penting dibedakan bahwa di Morowali terdapat dua bandara:

1. Bandara Morowali (Bandara Bungku/Maleo) yang merupakan bandara umum milik negara dan diresmikan Presiden Joko Widodo pada 2018;

2. Bandara IMIP yang dibangun PT IMIP di dalam kawasan industri nikel raksasa sebagai bandara khusus/private airport untuk menunjang mobilitas manajemen, pekerja, dan tamu korporasi. 

Perdebatan publik memanas ketika sebagian warganet mengira bandara yang disorot Menhan adalah bandara yang dulu diresmikan Presiden, sehingga muncul narasi seolah-olah “bandara ilegal yang diresmikan negara”, yang kemudian diluruskan oleh berbagai pihak termasuk DPR dan PSI bahwa bandara yang diresmikan Jokowi adalah bandara umum milik pemerintah, bukan Bandara IMIP.

Dari sisi regulasi, pihak manajemen IMIP menegaskan bahwa bandara mereka berstatus bandara khusus yang telah memperoleh sertifikat dari Ditjen Perhubungan Udara dan terdaftar resmi di Kemenhub, dengan landasan pacu sekitar 1.890 meter dan klasifikasi bandara privat. UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan memang membuka ruang bagi “bandara khusus” yang dibangun dan dikelola badan usaha untuk kepentingan sendiri. 

Namun, dalam kerangka hukum yang sama, bandara, apa pun statusnya harus tetap berada di dalam wilayah kedaulatan udara Indonesia, sehingga aktivitas penerbangan, khususnya jika ada penerbangan internasional, wajib tunduk pada aturan negara, flight clearance, penetapan entry/exit point, serta kehadiran perangkat CIQ (customs, immigration, quarantine). Intinya adalah bahwa semua kegiatan penerbangan di Indonesia harus tnduk kepada otoritas penerbangan nasional dalam hal ini DitjenHubud, Kemhub.

Di titik inilah kegelisahan Menhan menjadi relevan. Jika benar ada penerbangan yang datang langsung dari luar negeri ke Bandara IMIP tanpa melalui bandara internasional yang ditetapkan pemerintah, maka situasi itu bukan lagi sekadar soal administrasi, tetapi menyentuh kedaulatan teritorial dan keamanan nasional.

Pengamat dan anggota DPR mengingatkan bahwa penerbangan internasional yang tidak masuk melalui bandara internasional resmi berpotensi melanggar kedaulatan, membuka celah penyelundupan barang maupun lalu lintas manusia, dan melemahkan pengawasan negara terhadap kawasan industri strategis yang penuh investasi asing. Yang harus dicatat disini adalah International Airport adalah ”garis perbatasan negara” yang harus berada dalam pengawasan yang ketat dan standar.

Istilah “negara dalam negara” pada kasus Morowali ini merefleksikan kekhawatiran bahwa ada ruang strategis di mana fungsi-fungsi negara praktis tidak hadir, sementara otoritas faktual berada di tangan korporasi dalam hal pengendalian akses keluar-masuk, pemeriksaan penumpang dan barang, hingga tata ruang kawasan.

Di satu sisi, investasi besar seperti kawasan IMIP memang membawa devisa, lapangan kerja, dan infrastruktur, termasuk bandara privat yang mempersingkat waktu tempuh Jakarta Morowali dari lebih 10 jam menjadi sekitar 2,5 jam. Di sisi lain, jika infrastruktur itu berjalan di luar ekosistem pengawasan negara, maka kita menghadapi paradoks: negara membuka pintu lebar-lebar bagi investasi, tetapi abai memastikan bahwa kedaulatan hukum dan otoritasnya seharusnya tetap menjadi komando tertinggi.

Polemik ini juga menyingkap problem lama tata kelola penerbangan dan sumber daya strategis di Indonesia: sering kali regulasi tertinggal dibanding kecepatan bisnis. Bandara IMIP memperoleh sertifikat, namun pengaturan mengenai jenis penerbangan yang boleh dilayani, mekanisme CIQ, serta koordinasi antar-kementerian (Perhubungan, Pertahanan, Keuangan/Bea Cukai, Hukum & HAM/Imigrasi) tampaknya tidak dijalankan secara terpadu.

Karena itu, muncul kesan seolah-olah otoritas negara hanya hadir di atas kertas, sementara di lapangan korporasi berjalan dengan “aturan main sendiri”.

Ke depan, ada beberapa pelajaran penting dari “kasus Morowali” ini. Pertama, pemerintah perlu melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh bandara khusus/privat di Indonesia, terutama yang berada di kawasan industri strategis dan berdekatan dengan jalur internasional. Audit ini bukan untuk menghambat investasi, tetapi memastikan bahwa setiap bandara berada dalam pagar kedaulatan hukum dan pertahanan negara. Kedua, diperlukan penegasan regulasi yang tidak boleh ada satu pun bandara, apalagi yang melayani penerbangan lintas negara yang beroperasi tanpa perangkat CIQ dan kehadiran otoritas negara yang memadai. Ketiga, transparansi informasi kepada publik mutlak diperlukan agar tidak terjadi manipulasi narasi, misalnya seolah-olah bandara ilegal itu adalah bandara yang diresmikan Presiden, yang justru mengaburkan inti persoalan.

Pada akhirnya, isu bandara privat Morowali adalah cermin dilema besar Indonesia hari ini tentang bagaimana menyeimbangkan kebutuhan investasi dengan penjagaan kedaulatan negara. Infrastruktur yang dibangun perusahaan boleh saja megah dan efisien, tetapi ia tetap berdiri di atas tanah Indonesia dan berada di bawah langit kedaulatan udara Republik Indonesia. 

Kalimat Menhan bahwa “tidak boleh ada negara di dalam negara” harus dibaca sebagai alarm bahwa negara tidak boleh terlambat hadir di ruang-ruang strategisnya sendiri. Jika pemerintah mampu merapikan regulasi dan menegakkan aturan tanpa pandang bulu, baik kepada BUMN maupun korporasi swasta besar, maka Morowali bisa berubah dari skandal menjadi momentum koreksi nasional untuk memastikan bahwa setiap bandara, termasuk yang privat, benar-benar menjadi bagian dari sistem pertahanan dan kedaulatan Indonesia, bukan celah yang melemahkannya. 

Sebagai sebuah realita, maka polemik bandara privat Morowali ini tak lain dan tak bukan adalah penjelmaan nyata dari adagium lama tentang Indonesia sebagai negeri penuh paradoks yang kerap membingungkan kawan maupun lawan, paling sulit dibaca, sulit ditebak, namun selalu menuntut kewaspadaan agar kedaulatan tidak perlahan terkikis di tanah sendiri.

 


Negara Bubar di Gerbangnya Sendiri

Sebelumnya

Tentang Penolakan Pembebasan Lahan Runway Bandara Arung Palakka Bone

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Airport