Kata “intelligence” pada AI tidak tepat dipadankan dengan “kecerdasan” dalam bahasa Indonesia. Karena cerdasan melekat pada – kesadaran – kehendak – tanggungjawab moral dan dimensi makna. Sementara sistem yang disebut AI – tidak memiliki kesadaran – tidak memiliki kehendak – tidak memikul tangungjawab – tidak mengalami makna.
Oleh: Adhie M. Massardi, Kolaborator Manusia dan Non-manusia
AI atau Artificial Intelligence menjadi polemik serius berkepanjangan di muka bumi karena kehadiran AI mengguncang tatanan moral-intelektual-sosial, bahkan di negara asalnya, AS dan negara-negara maju di Eropa, Jepang, Korea Selatan dan China.
Di Indonesia ketika AI diterjemahkan menjadi “kecerdasan buatan” menimbulkan kontroversi lebih tajam, myerempet ke ranah teologis. Bangsa ini memang sangat religius. Kehadiran AI yang “kecerdasan buatan” (mesin) dirasakan mereduksi bahkan mengganggu eksistensi manusia, yang notabene ciptaan Tuhan paling sempurna. Bagaimana mungkin manusia dikalahkan oleh ciptaan selain Tuhan?
Persoalan AI menjadi problem masyarakat modern memang dimulai dari pemahaman terhadap kata “intelligence” yang salah kaprah, dipahami sebagai “kemampuan berpikir dan belajar secara cepat dan fleksibel”. Padahal “intelligence” dalam konteks AI adalah “kemampuan arsitektur komputasi mengolah algoritma untuk memetakan, memprediksi dan menentukan pola.
Basis utama AI adalah pengembangan algoritma, dan algoritma diperkenalkan pertama kali oleh Abu Ja'far Muḥammad bin Mūsā al-Khwārizmī (al-Khwārizmī), kelahiran Kufah, Irak, 780-an Masehi, filsuf, ahli polimatik (matematika, astronomi, geografi). Ia pemikir Muslim terkemuka yang hidup pada era Khalifah Bani Abbasiyah Ma'mun Ar-Rasyid (813–833 M).
Jadi kata “intelligence” pada AI tidak tepat dipadankan dengan “kecerdasan” dalam bahasa Indonesia. Karena cerdasan melekat pada – kesadaran – kehendak – tanggungjawab moral dan dimensi makna. Sementara sistem yang disebut AI – tidak memiliki kesadaran – tidak memiliki kehendak – tidak memikul tangungjawab – tidak mengalami makna.
Publik terlanjur memahami: respon cepat AI → dianggap cerdas, akurat → dianggap unggul dan konsisten → dianggap lebih “rasional”. Akibatnya terjadi pergeseran persepsi: kecerdasan manusia (anugerah Tuhan) dikalahkan oleh performa mesin.
AI Itu Non-Human
Saya menolak mengatakan AI sebagai “kecerdasan buatan” melainkan sebagai non-Human, tepatnya Non-Human Technical System bukan karena persoalan teknis apalagi anti-teknologi. Saya pro-teknologi, tapi juga pro-manusia, jadi non-Human adalah soal antropologis dan teologis.
Saya menggunakan istilah Non-Human karena tiga hal.
1. Teknologi adalah alat, bukan subjek kecerdasan.
2. Istilah Non-Human untuk menjaga perbedaan antara kecerdasan sebagai anugerah dan kalkulasi sebagai rekayasa.
3. Mesin boleh lebih cepat dan lebih akurat, tetapi tidak pernah lebih berkehendak atau bertanggung jawab daripada manusia.
Definisi Non-Human
Sebelum menjelaskan definisi Non-Human, untuk menyamakan perspektif, saya terangkan “konsep peradaban” hasil kontemplasi saya dengan semesta alam.
Peradaban tidak dimulai dari teknik, kekuasaan, atau ekonomi, melainkan dari kesadaran manusia setelah “menemukan dan berkomunikasi” dengan Dzat yang lebih tinggi dari dirinya. Bentuknya bisa primitif (matahari, dewa ilusi), bisa mitologis dan bisa teologis yang lebih rasional.
Semakin rasional, semakin konseptual, dan semakin dapat dipertanggungjawabkan pemahaman tentang Sang Pencipta, semakin tinggi kualitas peradaban yang dilahirkan.
Peradaban melahirkan kebudayaan. Kebudayaan adalah seluruh kegiatan manusia yang berfungsi untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan dan menghormati seluruh ciptaanNya (alam semesta).
Sebelum mengenal Sang Pencipta, kegiatan manusia tidak dilandasi etika dan moralitas dan semangat meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan, melainkan kegiatan untuk survival sebagaimana mahluk lain di muka bumi.
Non-Human adalah produk peradaban yang berfungsi sebagai mekanisme kebudayaan, tidak memiliki kesadaran, kehendak, dan tanggung jawab moral, serta bernilai sejauh ia digunakan untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan. Instrumen teknis di dalamnya bersifat netral; arah dan dampaknya ditentukan oleh manusia sebagai subjek peradaban.
Nilai, arah, dan dampak Non-Human sepenuhnya ditentukan oleh manusia sebagai pemilik kehendak dan tanggung jawab, serta harus dikawal oleh etika, moral, dan hukum agar tetap berfungsi untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan.
Penjelasan Operasional
1. Non-Human bukan subjek peradaban
Ia tidak memiliki relasi dengan Sang Pencipta, tidak berkehendak, dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban moral.


KOMENTAR ANDA