Sistem ini akan diekspansi kepada seluruh penumpang internasional secara umum mulai tahun 2026 dengan mengintegrasi API ke platform global seperti IATA One ID. Sebelum ekspansi sistem dapat dilakukan secara utuh, dibutuhkan pra-enrollment biometrik di titik asal.
Oleh: Abdullah Rasyid, Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan
GLOBALISASI serasa tak pernah behenti dalam berevolusi. Dan salah satu yang menjadi urgensi global saat ini adalah tentang bagaimana “menerapkan” sebuah terobosan teknologi yang paling efisien dan relevan untuk di implementasikan pada wilayah perbatasan masing-masing negara sebagai katalisator mobilitas ekonomi.
Indonesia merespon cepat hal tersebut dengan meluncurkan sistem Seamless Corridor—sebuah sistem teknologi biometrik on-the-move yang merevolusi proses imigrasi. Sistem ini menggunakan penyempurnaan pengenalan wajah otomatis, sehingga “memungkinkan” setiap penumpang yang akan melewati gerbang perbatasan “tanpa” harus berhenti lagi, tanpa harus melakukan verifikasi manual paspor lagi dan tanpa harus melakukan interupsi fisik lagi.
Meskipun belum ada satupun preseden global yang serupa, pilihan Indonesia untuk mengadopsi inovasi ini didasari oleh visi strategis untuk mengatasi “bottleneck” kronis di bandara-bandara utama yang sering sekali menghambat pertumbuhan pariwisata dan perdagangan.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lalu lintas udara internasional yang mencapai ratusan juta penumpang per tahun, Indonesia melihat peluang dalam digitalisasi ini “tidak” hanya untuk mengejar ketertinggalan saja, tetapi juga untuk memimpin agenda transformasi perbatasan melalui penyatuan ekosistem imigrasi digital nasional sebagai bagian yang terintegrasi dari kebijakan strategis nasional "All Indonesia".
Saat ini, sistem Seamless Corridor telah di implementasikan di dua bandara internasional utama yaitu; dua koridor di Bandara Soekarno-Hatta (Jakarta) dan satu koridor di Bandara Juanda (Surabaya), yang telah beroperasi penuh sejak 30 Oktober 2025.
Dampaknya langsung dapat dirasakan, yaitu peningkatan kapasitas dalam hal pemrosesan penumpang hingga sepuluh kali lipat, pengurangan waktu tunggu dari rata-rata 20-30 menit menjadi kurang dari satu menit, serta terjadinya penghematan alokasi sumber daya manusia yang signifikan dimana fungsi petugas keimigrasian yang secara bertahap dapat dialihkan untuk mendukung pelaksanaan tugas analitik dan mengawasi keamanan basis data.
Secara ekonomi, sistem ini berpotensi menambah kontribusi sektor pariwisata sebesar 5-7 persen dari PDB nasional melalui peningkatan kepuasan wisatawan, sementara dari perspektif keamanan, integrasi dengan database biometrik global akan mengurangi resiko pemalsuan identitas hingga mencapai 95 persen.
Ke depannya, sebagai inti dari program All Indonesia, sistem ini akan diekspansi ke seluruh 28 bandara internasional, termasuk Ngurah Rai (Bali) dan Kualanamu (Medan), dengan target penuh pada tahun 2028. Jadi, sistem ini tidak hanya sekadar upgrade infrastruktur saja, melainkan juga sebagai fondasi ekosistem perbatasan yang terintegrasi untuk mendukung visi Indonesia Emas tahun 2045, di mana “mobilitas” dihaharapkan dapat menjadi pendorong utama konektivitas ASEAN dan Indo-Pasifik.
Mekanisme operasional sistem Seamless Corridor dirancang dengan arsitektur teknokratik dengan mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI) dan sensor biometrik canggih untuk menciptakan alur yang kontinyu tanpa friksi. Pada tahap inisiasi, penumpang yang telah memenuhi syarat akan memasuki koridor pada jalur khusus yang berpanjang sekitar 20-30 meter dan sudah terintegrasi dengan kamera multi-angle yang berbasis inframerah dan AI untuk bisa menangkap citra wajah secara real-time dan akurat saat berjalan.
Data biometrik ini kemudian akan dicocokkan secara instan dengan profil yang telah didaftarkan sebelumnya pada sistem Visa on Arrival (VoA) atau Electronic Travel Authorization (ETA) yang terhubung dengan database pusat Direktorat Jenderal Imigrasi via cloud aman dan berstandar ISO 27001. Proses verifikasi digital akan selesai dalam hitungan detik, dengan penolakan otomatis jika “mismatch” melebihi threshold 0,1 persen, diikuti dengan mode pengalihan ke jalur manual.
Pada fase awal, pemerintah menargetkan kelompok rentan seperti lansia di atas 60 tahun dan penyandang disabilitas yang sering mengalami kesulitan fisik di antrian konvensional. Untuk kelompok ini, registrasi biometrik dilakukan pada saat pra-penerbangan melalui aplikasi mobile yang terintegrasi dengan maskapai untuk memastikan aksesibilitas inklusif—misalnya; dengan dukungan suara dan haptic feedback untuk tunanetra.
Sistem ini akan diekspansi kepada seluruh penumpang internasional secara umum mulai tahun 2026 dengan mengintegrasi API ke platform global seperti IATA One ID. Sebelum ekspansi sistem dapat dilakukan secara utuh, dibutuhkan pra-enrollment biometrik di titik asal.
Selain itu kerjasama bilateral untuk berbagi data aman juga menjadi sangat dibutuhkan untuk memastikan proses transisi dari domestik ke internasional dapat berjalan dengan mulus. Secara teknis, pemenuhan skalabilitas pada sistem dapat dicapai melalui skema edge computing yang dapat memproses data lokal untuk latensi rendah, sementara skema blockchain-like ledger juga dibutuhkan untuk memastikan audit trail yang tidak terbantahkan.
Inilah yang menjadikan Seamless Corridor bukan hanya sistem yang efisien, tetapi juga resilien terhadap ancaman siber.
Dari perspektif teknokratik, aplikasi Seamless Corridor kepada seluruh penumpang internasional di 28 bandara internasional Indonesia “mewakili” terobosan strategi yang menggabungkan rekayasa sistem, kebijakan publik dan kolaborasi multistakeholder. Strategi inti melibatkan arsitektur modular seperti; deployment phased yang berbasis pada prioritas lalu lintas dan juga berbasis pada protokol interoperabilitas yang mematuhi standar ICAO Doc 9303 untuk biometrik perbatasan.
Secara keseluruhan sistem ini didukung dengan upgrade infrastruktur sensor ke resolusi 4K dan AI “deep learning” untuk mengakurasi lintas etnis serta terintegrasi dengan sistem nasional seperti INSW (Indonesia National Single Window) untuk memverifikasi data bea-cukai secara simultan.
Namun demikian, apakah sistem ini tidak memiliki kendala potensial yang tak terelakkan ?
Pertama, isu privasi data di bawah General Data Protection Regulation (GDPR)-equivalent seperti Undang Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi, di mana pengumpulan biometrik massal akan beresiko terhadap penyalahgunaan data.
Kedua, adanya disparitas infrastruktur di bandara regional yang masih memerlukan investasi triliunan rupiah untuk bisa mendukung jaringan 5G dan server edge.
Ketiga, resistensi budaya dari petugas imigrasi tradisional yang mungkin saja berpotensi menimbulkan “gap” keterampilan kerja, serta
Ke-empat, yaitu ketergantungan absolut kepada mitra asing yang rentan terhadap gejolak geopolitik rantai pasok.


KOMENTAR ANDA