Republik Rakyat Tiongkok tengah menggenjot produksi berbagai varian pesawat tempur, terutama Chengdu J-20 yang dijuluki Mighty Dragon atau Naga Perkasa.
Pesawat yang diproduksi Chengdu Aircraft Industry Group ini melakukan penerbangan perdana di tahun 2011 dan mulai dioperasikan Angkatan Udara Tentara Rakyat Tiongkok di tahun 2017. J-20 juga dikenal sebagai pesawat tempur siluman geberasi kelima untuk menandingi siluman buatan Amerika Serikat F-22 Raptor dan F-35 Lightning.
Pertanyaan yang belakangan kerap diajukan adalah, apakah bila perang terjadi di kawasan, Chengdu J-20 dapat menandingi F-35 Lightning?
Beberapa waktu lalu lembaga think tank Center for Strategic and International Studies (CSIS) merilis skenario perang yang mungkin terjadi di kawasan Asia Pasifik. Disimpulkan bahwa dalam setiap skenario, Tiongkok akan kalah. Namun di sisi lain, Amerika Serikat, Jepang, dan Taiwan kehilangan banyak pesawat temput jet.
Pesawat-pesawat tempur ini hancur bukan karena kalah dalam pertempuran di udara, melainkan binasa di darat karena serangan rudal Tiongkok.
CSIS dalam laporan itu membandingkan langkah yang paling mungkin diambil Tiongkok bila memulai perang dengan serangan yang dilakukan Jepang ke Pearl Harbor di tahun 1941.
Serangan ke Pearl Harbor itu, menurut catatan CSIS, dilakukan untuk memusnahkan kekuatan Amerika Serikat di Pasifik sehingga tidak dapat memberikan bantuan bila Jepang pada langkah berikutnya merebut daerah-daerah kaya minyak di Asia Tenggara, terutama di Hindia Belanda yang sekarang dikenal sebagai Indonesia.
Untuk situasi saat ini, bila Tiongkok mengasumsikan AS akan membantu Taiwa, maka hal pertama yang akan dilakukan Tiongkok adalah menetralisir pangkalan udara Amerika yang berada di kawasan, termasuk Pangkalan Angkatan Udara AS Kadena di Okinawa, Jepang. Serangan itu berarti menyeret Jepang ke dalam perang.
Walaupun Taiwan akan keluar sebagai pemenang, ratusan pesawat Amerika dan Jepang hancur. Begitu juga angkatan udara Taiwan binasa.
"Pasukan Roket Tentara Pembebasan Rakyat (PLARF) Tiongkok adalah pasukan yang tangguh. Jadi, setiap putaran permainan dimulai dengan serangan rudal berbasis darat. Rudal-rudal ini terutama menargetkan kapal permukaan dan pangkalan udara AS dan Jepang... Serangan ini menggunakan sebagian besar inventaris rudal balistik jarak pendek Tiongkok dan sebagian besar akan menghancurkan angkatan laut Taiwan dan melumpuhkan angkatan udaranya,” tulis CSIS dalam laporan yang dirilis tahun lalu.
CSIS mencatat bahwa Taiwan telah melakukan "pekerjaan yang mengagumkan" dalam memperkuat pangkalan udaranya.
Namun, Tiongkok, pada gilirannya, telah membangun pasukan roket sebagian untuk melawan pertahanan AS. Volume rudal yang dimiliki Tiongkok kemungkinan besar akan membanjiri pertahanan pangkalan udara Taiwan dan tempat perlindungan yang diperkuat.
Dalam skenario pangkalan, Amerika Serikat akan kehilangan 270 pesawat (206 di antaranya berasal dari Angkatan Udara Amerika Serikat). Satu hal yang tidak pasti adalah apakah ada kapal induk yang dikerahkan ke garis depan yang tenggelam dalam serangan awal (ini akan meningkatkan kerugian). Jepang juga akan kehilangan 112 pesawat, sementara angkatan udara Taiwan secara efektif akan berhenti beroperasi.
Angkatan Udara AS kehilangan antara 168 dan 372 pesawat dalam tiga iterasi skenario pangkalan, yang sekitar 96 di antaranya adalah pesawat tempur/serang Angkatan Laut yang hilang di kapal induk. Ini berarti bahwa Angkatan Udara kehilangan antara 70 dan 274 pesawat di darat.
Dalam beberapa iterasi permainan perang non-pangkalan, AS kehilangan sebanyak 774 pesawat. Dalam skenario pesimistis yang menguntungkan Tiongkok, Tiongkok kehilangan rata-rata 327 pesawat, mulai dari yang terendah 48 hingga sebanyak 826. Dalam skenario di mana AS menyerang pangkalan udara Tiongkok dengan rudal JASSM-ER, antara 66 dan 748 pesawat Tiongkok hancur di darat.
Seperti yang dinyatakan CSIS, dalam permainan perang "kekuatan relatif kemampuan udara-ke-udara AS dan Tiongkok tidaklah penting karena sebagian besar pesawat hancur di darat."
Hebatnya, model dasar permainan perang menunjukkan bahwa 90 persen dari total kerugian pesawat AS, Jepang, dan Taiwan terjadi di darat. Ini terjadi meskipun pertahanan udara AS dan Jepang di Okinawa sangat mengesankan.
Fakta yang brutal adalah bahwa tidak masalah seberapa siluman pesawat itu, apakah itu F-22 Raptor atau A-10 Warthog. Toh mereka semua diparkir di darat saat diserang rudal. Angkatan Udara Amerika Serikat sangat menyadari hal ini, dan itulah sebabnya mereka tidak lagi merasa aman beroperasi di pangkalan depan dan berlatih beroperasi dari pangkalan yang tersebar dan menjadi lebih gesit.
Sumber pihak ketiga mengonfirmasi Rusia telah kehilangan sekitar 130 pesawat sayap tetap dan 145 pesawat sayap putar (termasuk kerugian non-tempur) selama perang di Ukraina. Sebagian besar telah dihancurkan di darat atau oleh rudal permukaan-ke-udara. Baik kemenangan udara-ke-udara Rusia atas pesawat Ukraina maupun kemenangan udara-ke-udara Ukraina jarang terjadi.
Tiongkok adalah negara yang jauh lebih kuat daripada Rusia yang telah lama mengalami kemunduran relatif, dan tidak ada perbandingan antara Ukraina dan Taiwan, Jepang, dan AS yang berteknologi maju.
Faktor ini dan faktor lainnya—termasuk ekspektasi bahwa perang akan berlangsung singkat (sekitar tiga minggu)—menunjukkan bahwa pesawat tanpa awak berteknologi rendah, seperti yang terlihat di Ukraina, tidak akan terlalu relevan karena rudal yang lebih canggih kemungkinan besar akan menjadi pilihan utama.
KOMENTAR ANDA