post image
Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI), Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim/Net
KOMENTAR

PADA satu saat, Laksamana Muda James Richardson, Panglima Armada US Navy sempat mengeluhkan kepemimpinan sipil di Washington DC dalam kebijakan pertahanan keamanan negara Amerika Serikat.   Puncaknya dia memperotes keras keputusan Presiden Franklin Delano Roosevelt dalam hal gelar armada laut AS di Pearl Harbor, Hawaii.   

Alasan yang sangat mengemuka disampaikan oleh Panglima James Richardson adalah deployment armada laut ke pangkalan depan yang posisinya di remote area (Pearl Harbor) akan sangat rawan terhadap serangan udara dan serangan torpedo musuh.

Gelar armada laut di remote area tanpa perangkat sistem pertahanan udara yang memadai akan mengandung risiko besar. Combat readiness dari kekuatan laut harus mencakup paket perlindungan udara yang mumpuni. Sebuah pengamatan teknis dan analisa strategis yang kurang dipahami jajaran sipil di pusat pemerintahan.  

Analisis dari seorang profesional yang memiliki kompetensi dalam bidang tugasnya namun sama sekali tidak dimengerti oleh jajaran para penasehat presiden dalam proses pengambilan keputusan. Presiden Roosevelt memutuskan gelar armada laut US Navy di Pasifik tetap dijalankan. Demikianlah maka saran dan rekomendasi James Richardson tidak hanya diabaikan, akan tetapi dia juga sekaligus diberhentikan dari jabatannya.

James Richardson, nama lengkapnya James Otto Richardson adalah seorang Rear Admiral US Navy lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL) Amerika Serikat tahun 1902. Namanya menjadi buah bibir banyak orang ketika ia pada tanggal 1 Februari 1941 diberhentikan dari jabatannya sebagai Panglima Armada Laut US Navy. Melihat reputasi dalam perjalanan kariernya, dia banyak diramalkan dan diharapkan oleh keluarga besar Angkatan Laut sebagai calon kuat untuk menduduki posisi sebagai Kepala Staf Angkatan Laut Amerika Serikat.

Kenyataannya Rear Admiral James Richardson justru diberhentikan dari jabatan panglima armada karena ia memprotes keras gelar armada laut US Navy yang akan dipindahkan dari pangkalan induknya di San Diego ke Hawai (Pearl Harbor).

Pada 7 Desember 1941, hanya 10 bulan saja dari peringatan yang disampaikan oleh Rear Admiral Richardson, panglima armada laut Amerika lulusan AAL 1902, Pangkalan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor luluh lantak oleh serangan mendadak Divisi Udara Angkatan Laut Kerajaan Jepang. Surprise Military Strike oleh Angkatan Laut Jepang menggunakan 353 pesawat terbang dan ternyata berangkat dari 6 kapal induk yang telah bertengger di perairan Samudera Pasifik.

Serangan mendadak itu memakan korban 188 pesawat terbang Amerika Serikat hancur. Sebanyak 5 kapal laut armada US Navy tenggelam dan 16 lainnya rusak berat. Sebanyak 2400 orang terbunuh dan 1.100 lainnya terluka. Sebuah keputusan keliru dan Fatal sebagai akibat dari  tidak atau kurang mendengarkan saran dari pihak yang professional dan kompeten dalam bidangnya.   

Para profesional adalah mereka yang terjaga moral kredibilitasnya dalam menjalankan tugas tanpa terpengaruh oleh interest lain selain pelaksanaan tugas negara. Mereka yang terjaga dalam semboyan terkenal "country before self".

Itulah sekelumit kisah dari bagaimana saran dari seorang professional yang kompeten dibidangnya telah diabaikan dan berakibat fatal.   Dalam mengambil keputusan strategis selayaknya seorang Presiden memperoleh masukan dari para professional yang kompeten di bidangnya.   

Keluhan Sang Admiral terhadap kepemimpinan sipil di jajaran pengambilan keputusan dalam hal pertahanan keamanan negara sempat disampaikan kepada atasannya. Akhirnya Admiral Richardson tidak dapat menahan diri untuk memprotes keputusan gelar armada laut US Navy dari San Diego ke Pearl Harbor. Akibatnya dia diberhentikan dari jabatan sebagai Panglima Armada US Navy, namun 10 bulan kemudian, realita menunjukkan pangkalan Amerika Serikat di Pearl Harbor luluh lantak di serang Jepang. Itulah sebuah kisah dari keliru dan fatalnya sebuah keputusan Presiden.

Pada jajaran para pengambil keputusan, mereka akan selalu dipengaruhi oleh para politisi, pengusaha dan profesional. Politisi pasti pusat orientasinya adalah kekuasaan, sedangkan para Pengusaha selalu akan berorientasi pada uang, sedangkan para professional adalah mereka yang pada akhirnya memperoleh respect.   

Para profesional selalu akan berorientasi pada tanggung jawab profesinya yang melekat pada moral dan kredibilitas diri pribadinya.   Sayangnya para professional tidak pernah menjanjikan keuntungan yang bersifat uang maupun kekuasaan, sehingga pertimbangannya kerap kurang terdengar oleh para pengambil keputusan. Itulah sebuah realita kehidupan di dunia yang fana ini.

Penulis merupakan Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia


Belajar dari Aneka Kecelakaan Pesawat Boeing

Sebelumnya

Temu Bulanan Pusat Studi Air Power Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Chappy Hakim