post image
KOMENTAR

Jejak Historis Abdul Hakim dan Kawan Seperjuangan dalam Lahirnya Kantor Berita Nasional Indonesia


Oleh: Chappy Hakim, Pusat Studi Air Power Indonesia

 

SEJARAH pers nasional Indonesia menyimpan nama-nama penting yang bekerja dalam senyap tetapi meletakkan fondasi bagi perjalanan bangsa. Salah satu di antaranya adalah Abdul Hakim, seorang wartawan pergerakan yang pada 13 Desember 1937 tercatat sebagai redaktur pertama kantor berita ANTARA ketika lembaga ini didirikan.

Banyak generasi masa kini mungkin tidak lagi mengenal namanya, tetapi arsip sejarah pers menunjukkan bahwa Abdul Hakim berada di posisi kunci pada saat lahirnya lembaga berita nasional Indonesia.

Keterangan ini tertulis dalam Sejarah Pers Indonesia karya H. Soebagijo IN, diterbitkan Dewan Pers tahun 1977, yang memuat kutipan resmi bertanggal Batavia-C, 15 Juli 1941 dari Pimpinan Pers-en Documentatiebureau “ANTARA”, dalam ejaan lama, “Sebagai redaktur pertama adalah toean Abdoel Hakim. Pembantoe tetap jang lama dan jang baroe ialah toean-toean Sanoesi Pane, Mr. Soemanang, Mr. Alwi, Sjahroezah, Sg. Djojopoespito, serta correspondenten di tempat jang penting di seloeroeh Indonesia.”[1]

Kutipan tersebut bukan hanya menghadirkan fakta historis, tetapi turut menjelaskan bahwa struktur awal ANTARA dibentuk oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional dengan jejaring luas di seluruh Nusantara dengan nama Jajasan Kantor Berita ANTARA.

Abdul Hakim menjadi redaktur pertama karena sebelumnya telah bekerja sebagai reporter harian Keng Po, salah satu koran berpengaruh dalam masa kolonial. Posisi redaktur pada masa itu bukan sekadar editor sebagaimana pemaknaan modern, tetapi merupakan gatekeeper utama yang menentukan layak tidaknya sebuah informasi disiarkan, dan sekaligus menjadi penjaga arah politik lembaga penerbitan. Dengan demikian, sejak awal berdirinya ANTARA, Abdul Hakim memainkan peran strategis dalam menyiarkan berita yang mencerminkan aspirasi kebangsaan.

Kantor Berita ANTARA pertama kali beroperasi di rumah Soemanang di Jalan Raden Saleh Kecil No. 2, Jakarta. Dari rumah sederhana itu, buletin ANTARA terbit untuk pertama kalinya pada tanggal 13 Desember 1937, menandai lahirnya kantor berita yang kelak menjadi tulang punggung komunikasi Republik Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan.

Dimensi kemanusiaan sosok Abdul Hakim semakin terlihat melalui buku “Abdul Hakim, Wartawan Antara  Dalam Kenangan Anak Cucu”. Sampul buku itu menampilkan dirinya sedang mengendarai skuter di jalanan Jakarta tempo dulu, menghadirkan sosok wartawan pergerakan bukan sebagai figur monumental, tetapi sebagai seorang sederhana yang menjalani hidupnya dengan ketenangan dan keteguhan. Melalui narasi keluarga, tampak jelas bahwa perjuangan Abdul Hakim bukan hanya tercatat dalam arsip institusional, tetapi juga dalam ingatan anak-cucu yang mengenangnya sebagai pribadi yang setia pada pekerjaan dan nilai perjuangan.

Pendahuluan buku ini memperlihatkan bahwa biografi tokoh pergerakan bukan sekadar catatan formal, tetapi juga kisah manusia yang menjalani sejarah besar dari sudut ruang hidupnya sendiri. Dengan demikian, pendekatan akademik terhadap kiprah Abdul Hakim menuntut penyatuan dua sisi sekaligus, sisi struktural yang menjelaskan perannya dalam institusi ANTARA, dan sisi personal yang memperlihatkan watak, nilai, dan kehidupan yang menghidupkan perjuangan itu. Latar belakang ini menjadi landasan penting untuk memahami bagaimana ANTARA lahir sebagai institusi perlawanan informasi dan bagaimana tokoh seperti Abdul Hakim memainkan peranan fundamental di dalamnya.

ANTARA sebagai Institusi Perjuangan Informasi

Dalam catatan sejarah resmi, ANTARA segera menjadi perhatian pemerintah kolonial karena aktivitasnya yang dinilai menggerakkan kesadaran nasional. Dokumen sejarah ANTARA mencatat dengan jelas keterlibatan para tokoh pergerakan dalam memimpin lembaga ini.

Salah satu kutipan yang paling sering dirujuk berbunyi “Pimpinan ANTARA adalah pula tokoh-tokoh perjuangan sehingga sering keluar-masuk penjara penguasa, seperti yang dialami Adam Malik, Pandu, Sipahoetar dan Abdul Hakim, demikian juga Soemanang. Mereka dipindah-pindahkan bersama sejumlah pejuang lain ke Garut, ke Sukabumi, ke Nusa Kambangan. Tapi dalam penjara-pun mereka bertekad ANTARA harus tetap hidup dan mereka akan kembali menjalankan ANTARA kalau nanti bebas.”[2]

Kutipan tersebut menegaskan sifat politis ANTARA sejak awal. Para pendirinya, termasuk Abdul Hakim, diperlakukan sebagai ancaman oleh pemerintah kolonial. Dalam konteks teori kolonialisme, pemerintah Belanda memahami bahwa kontrol informasi adalah salah satu pilar kekuasaan.

Karena itu, tokoh-tokoh ANTARA menjadi sasaran represi. Perpindahan para pemimpinnya dari satu tempat pembuangan ke tempat lain merupakan bagian dari kebijakan administrative exile yang digunakan pemerintah kolonial untuk memutus jaringan perjuangan nasional.[3]

Namun, pengasingan tidak melemahkan semangat mereka. Bahkan ketika berada dalam penjara, mereka meyakini bahwa ANTARA harus tetap hidup sebagai saluran informasi perjuangan.

Tradisi Perlawanan Berbasis Informasi

Sebagai redaktur pertama ANTARA, Abdul Hakim tidak hanya memiliki fungsi teknis, tetapi juga memainkan peran ideologis penting. Sebagai gatekeeper berita, ia menentukan apa yang boleh atau tidak boleh ditayangkan, dan dengan demikian turut mempengaruhi arah pembentukan opini publik masa kolonial.

Setiap berita yang keluar dari ANTARA pada masa-masa awal merupakan bagian dari narasi perlawanan bangsa.  Perlawanan berbasis informasi ini merupakan bagian dari tradisi jurnalisme pergerakan yang telah berkembang sejak awal abad ke-20. Tokoh seperti Abdul Hakim berada dalam garis yang sama dengan aktivis pers seperti Tirto Adhi Soerjo, Mohammad Tabrani, dan Abdul Rivai yang menggunakan pers sebagai alat politik untuk membangun kesadaran nasional.[4]

Karena itu, penangkapan dan pengasingan Abdul Hakim bersama tokoh lainnya bukan hanya tindakan represif individual, tetapi merupakan serangan langsung terhadap upaya kolektif untuk mempertahankan komunikasi publik Indonesia.

Pendudukan Jepang dan Adaptasi Pergerakan Informasi

Memasuki 1942, pendudukan Jepang membawa perubahan drastis. Jepang mengakui peran strategis ANTARA dan langsung menutupnya pada 29 Mei 2602 (1942). Kegiatan berita dialihkan ke kantor berita Yashima dan kemudian ke Domei, kantor berita resmi Jepang.[5]

Meskipun begitu, tokoh-tokoh ANTARA tidak lenyap di bawah tekanan ini. Mereka justru beradaptasi. Adam Malik dan beberapa wartawan lainnya bekerja di Domei untuk memanfaatkan celah-celah kecil dalam struktur pendudukan sebagai jalur menjaga aspirasi nasional. Di sana pula terjadi interaksi intelektual yang menarik.


Tinjauan Akhir Tahun Kekuatan Pertahanan Udara RI

Sebelumnya

Catatan dari Rapat Kickoff Penyusunan Kebijakan Pengembangan Pesawat Terbang Nasional

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Chappy Hakim