post image
KOMENTAR

PABRIK pesawat terbang raksasa Boeing tengah dipertanyakan banyak pihak berkait dengan kecelakaan beruntun pesawatnya yang memakan ratusan korban jiwa  tidak berdosa.

Pesawat B737 Max 8 Lion Air nomor penerbangan JT610  pada 29 Oktober 2018 mengalami kecelakaan fatal. Pesawat secara tiba-tiba hilang kontak di kawasan perairan Karawang. Kemudian diketahui pesawat itu jatuh dari ketinggian 3.000 kaki. Sebanyak 189 orang berada di dalamnya, termasuk penumpang dan awak, tidak dapat diselamatkan.

Berikutnya pada tanggal 10 Maret 2019, berselang empat bulan, pesawat Boeing jenis yang sama B737 Max 8 Ethiopian Airlines nomor penerbangan ET302 jatuh saat baru take off dari Adis Ababa International Airport. Sebanyak 157 penumpang dan awak pesawat tewas.  

Senin, 21 Maret 2022 sebuah pesawat Boeing 737-800 milik maskapai penerbangan China Eastern Airlines dilaporkan jatuh di area pegunungan. Sebanyak 132 penumpang dan awak pesawat meninggal dunia.

Kabar paling mutakhir adalah kejadian pada hari Jumat, 5 Januari 2024, kecelakaan pesawat Boeing 737 Max 9 milik Alaska Airlines. Pesawat dengan nomor penerbangan 1282 rute Portland menuju Oregon terpaksa mendarat kembali di Portland setelah 20 menit mengudara. Penyebabnya adalah salah satu panel jendela meledak dan terlepas di udara.

Sebenarnya sejak peristiwa Lion Air dan Ethiopia Airlines di tahun 2018 dan 2019 yang lalu itu, kredibilitas pabrik pesawat Boeing dan otoritas penerbangan FAA sudah mulai dipertanyakan banyak pihak.

Boeing dan FAA sejauh ini dikenal sebagai pabrik pesawat dan otoritas penerbangan yang paling terpercaya dalam aspek keselamatan penerbangan. Banyak warga Amerika Serikat sendiri sangat menyayangkan dan bertanya ada apa gerangan yang terjadi atas pabrik pesawat terbang kebanggaan mereka itu.

Demikian pula tentang FAA sebagai otoritas penerbangan terpercaya di dunia dipertanyakan sejauh mana perannya sehingga tidak berdaya mencegah kecelakaan fatal beruntun yang terjadi.  

Menyusul dua kecelakaan Boeing 737 Max 8 di Indonesia dan Ethiopia tahun 2019 lalu, Boeing memecat pemimpin eksekutifnya, Dennis Muilenburg, dalam upaya mengembalikan kepercayaan publik terhadap Boeing.
 
Khusus menanggapi kecelakaan yang nyaris fatal pesawat Alaska Airlines, CEO Boeing Dave Calhoun pengganti Muilenburg merespon bahwa ia mengaku insiden Alaska Airlines merupakan kesalahan perusahaannya. Ia juga berjanji akan melakukan penanganan kasus tersebut dengan transparan.

Sementara itu Administrator FAA Mike Whitaker mengatakan: "Biar saya perjelas: Hal ini tidak akan kembali berjalan seperti biasa bagi Boeing. Kami tidak akan menyetujui permintaan apa pun dari Boeing untuk perluasan produksi atau menyetujui jalur produksi tambahan untuk 737 MAX sampai kami yakin bahwa masalah kendali mutu yang ditemukan selama proses ini telah diselesaikan."

Pasca kecelakaan Lion Air dan Ethiopian Airlines, pesawat terbang Max 8 sempat di larang terbang (grounded) oleh FAA untuk selama 20 bulan lamanya. Ketika itu penyebab utama kecelakaan adalah karena Factory Defect atau cacat pabrik. Karena penjelasan tentang penyebab kecelakaan yang merupakan bawaan dari pabrik sangat teknis sifatnya, maka tidak banyak orang yang paham. Itu sebabnya “hanya” dalam kurun waktu 20 bulan saja pesawat Max 8 sudah memperoleh ijin terbang kembali.  

Dalam hal ini respon masyarakat luas kurang terlihat di permukaan dan memaklumi saja penjelasan teknis yang disampaikan oleh FAA dan Boeing.

Waktu 20 bulan adalah waktu yang relatif singkat bagi rentang waktu yang dibutuhkan bagi penyelidikan penyebab kecelakaan fatal pesawat produksi versi terbaru sekaligus membenahi ulang produk cacat pesawat terbang itu untuk dapat memperoleh sertifikat laik terbang. Artinya adalah akar masalah dari dua kecelakaan fatal itu mungkin saja belum teridentifikasi.

Indikasi dari perkiraan ini terjawab dengan insiden Alaska Airlines yang baru 20 menit terbang mengalami ledakan dan copotnya panel jendela di udara.   

Sangat berbeda jauh insiden Alaska Airlines dengan kecelakaan fatal yang menimpa Lion Air dan Ethiopian Airlines sebelumnya.

Copotnya panel jendela di udara sama sekali tidak memerlukan penjelasan teknis yang panjang lebar dan penuh istilah penerbangan yang sulit di mengerti. Copotnya panel jendela di udara memperlihatkan sebuah kecerobohan fatal dari pabrik tentang mutu dan kualitas pesawat terbang yang dihasilkannya. Kejadian ini membuat para pengguna jasa angkutan udara “takut” untuk terbang dengan pesawat terbang buatan Boeing.
 
Dari banyak publikasi yang beredar tentang apa yang terjadi dengan Boeing, pada umumnya menyebut bahwa orientasi Boeing belakangan ini sudah bergeser. Boeing sudah bergeser orientasinya dari pabrik yang mengutamakan Aviation Safety menjadi pabrik pesawat terbang yang lebih memprioritaskan profit alias keuntungan. Corporate Culture atau budaya perusahaan telah berubah orientasinya untuk mengejar keuntungan semata.

Budaya perusahaan terbentuk dari bagaimana pimpinan perusahaan menjalankan visi misi yang akan dicapai oleh perusahaan. Di sinilah peran kepemimpinan atau leadership akan merefleksikan hasil akhir dari proses pekerjaan besar sebuah pabrik pesawat terbang.

Boeing telah memperlihatkan performa yang buruk dari kejadian insiden terakhir dari bagaimana sebuah pesawat terbang produksi mutakhir mengalami copotnya panel jendela saat baru terbang 20 menit. Apabila tidak ada penjelasan yang dapat diterima akal sehat tentang penyebab kejadian itu, maka Boeing akan mengalami kesulitan ke depan dalam memasarkan pesawat terbangnya.

Ambruknya sebuah perusahaan selalu dimulai dari jajaran pimpinannya, seperti pepatah Itali yang menyebut "The fish rot from the head" (ikan membusuk mulai dari kepalanya). Demikian pula sebuah negara akan porak poranda bila kepala negara atau kepala pemerintahannya mulai “membusuk”. 

Penulis adalah Kepala Pusat Studi Air Power Indonesia
 


Temu Bulanan Pusat Studi Air Power Indonesia

Sebelumnya

Chappy Hakim, Perwira yang Giat Berkarya

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Chappy Hakim