post image
KOMENTAR

Chappy Hakim, Mantan KSAU, Pusat Studi Air Power Indonesia

RABU, 26 Agustus 2020 lalu, pesawat N-250 Gatotkaca, kebanggaan Habibie dibopong masuk Musium Dirgantara Mandala Yogyakarta.

Beruntung Indonesia memilik Habibie yang mampu meneruskan cita-cita Nurtanio agar bangsa ini sanggup menghasilkan pesawat terbang produksi sendiri.

Tidak dapat dihindarkan realitanya sampai dengan saat ini belum atau tidak ada satupun pesawat terbang buatan Indonesia yang dapat diandalkan dan sukses dalam merebut pasar dunia dirgantara.

Ketika CN-235, produk bersama dengan Spanyol masuk jajaran Angkatan Udara dalam satu skadron dan sekaligus sejumlah CN-235 lainnya digunakan oleh MNA (Merpati Nusantara Airlines) maskapai penerbangan perintis, orang banyak berharap pesawat tersebut akan dapat menjadi produk andalan PTDI.

Beberapa negara sahabat, termasuk Angkatan Udaranya bahkan telah sempat  pula membeli dan menggunakan pesawat terbang CN-235.    Sayangnya adalah, ketika belum benar-benar proses menuju kesuksesan dari produk CN-235 yang sedang berjalan, telah diluncurkan pula proyek lainnya seperti N-250 dan N-2130.

Tentu saja dengan kemampuan yang masih sangat terbatas, sangat tidak mungkin bagi PTDI untuk mampu mengembangkan beberapa proyek pesawat terbang sekaligus.

PTDI belum sebesar Airbus dan atau Boeing.   Itulah kemudian yang terjadi, Sang CN-235 secara berangsur-angsur lenyap dari Skadron Angkatan Udara karena kesulitan memperoleh sukucadang.

Demikian pula yang beroperasi di MNA tidak ada satu pun pesawat yang bisa terbang lagi , bahkan MNA sendiri sudah tidak diketahui dimana gerangan rimbanya alias bangkrut.

Mungkin banyak sekali yang berlinang air mata mendengar atau menyaksikan prosesi dibopongnya Sang Gatotkaca masuk ke Museum di Yogyakarta.

Akan tetapi, kiranya tidak ada gunanya lagi meratapi adegan ini.   Lebih baik momentum dipajangnya N-250 di Museum Dirgantara dapat dijadikan bahan renungan bersama untuk memulai kembali upaya besar bangsa agar dapat mewujudkan cita-cita sebagai negara yang mampu membuat pesawat terbang sendiri.

Pelajaran besar yang dapat dipetik adalah, kita memang belum sanggup membuat dan merancang sebuah proyek yang memerlukan konsistensi jangka panjang, lintas rejim bahkan lintas generasi.

N-250 adalah bukti nyata dari sebuah perencanaan proyek besar yang tidak berlanjut.

Demikian pula CN-235 yang “hidup segan mati tak mau” sebagai akibat perencanaan yang kurang matang dalam proses pembuatan dan penyempurnaan produk pada alur awal produksi yang membutuhkan waktu jangka panjang.

Berikutnya adalah proyek N-219 yang telah beberapa kali mengalami kemunduran dari jadwal perencanaannya sampai sekarang dan terakhir proyek strategis pesawat tempur mutakhir yang bekerjasama dengan pihak Korea.

Tidak akan pernah ada pabrik pesawat terbang yang sukses tanpa perencanaan matang dan jangka panjang mencakup konsistensi yang berlanjut.

Di sisi lain, Indonesia jelas membutuhkan jejaring perhubungan udara yang idealnya harus ditopang oleh produk pesawat terbang sendiri. Indonesia memiliki kemampuan dan telah terbukti untuk dapat menjadi sebuah negara penghasil pesawat terbang.   Hanya saja, tantangannya adalah, perlu kesepakatan ditingkat nasional untuk mau mewujudkannya dengan tekad yang sepenuh hati.   Ditengah tengah situasi kondisi yang melanda kita sekarang ini, dimana terlihat di permukaan bahwa siklus kepentingan politik 5 tahunan sangat dominan dalam perencanaan pembangunan pada skala nasional, maka akan sulit sekali bagi kita untuk memiliki proyek besar membuat pesawat terbang , yang memerlukan waktu puluhan tahun.   Ganti pemerintahan ganti kebijakan adalah merupakan salah satu penyebab utama gagalnya proses pembuatan pesawat terbang dalam negeri.   Belum lagi ribetnya birokrasi dan berkembangnya banyak kasus korupsi yang mencuat dipastikan akan mempercepat masuk kuburnya perencanaan yang memerlukan biaya besar dan berjangka panjang.
             Intinya adalah, bahwa kita memang sudah membuktikan sebagai bangsa yang mampu membuat pesawat terbang sendiri.   Namun kenyataan yang dihadapi sekarang ini adalah pesawat terbang buatan sendiri itu belum sempat masuk ke global market sudah harus masuk ke museum.   Sebuah siklus yang sangat menyedihkan.

Kiranya spirit sebagai bangsa yang mampu membuat pesawat terbang harus dibangun lagi dan dirancang ulang untuk menghadapi tantangan berat kedepan. Yang patut dicatat adalah selama kepentingan politik yang sudah terlanjur terjebak dalam siklus  5 tahunan yang mapan dan fenomena korupsi yang terus saja merajalela, tidaklah mungkin negeri ini akan dapat mewujudkan impiannya sebagai negara penghasil pesawat terbang sendiri.

Merenung dan introspeksi mendalam harus dilakukan terlebih dahulu, sebelum mengatur lagi perencanaan besar jangka panjang bernilai strategis yang ternyata memerlukan banyak persyaratan.

Blue print industri penerbangan nasional harus dapat dibuat terlebih dahulu.

Konsistensi dalam menerapkan perencanaan jangka panjang yang lintas rejim dan bahkan lintas generasi harus dipersiapkan dengan cermat aturan tata kelolanya.  Demikian pula perilaku korupsi harus dibasmi secara tuntas.

Minimal hal yang sangat mendasar tersebut harus dapat diatasi terlebih dahulu bila kita memang berniat sungguh-sungguh untuk memiliki kemampuan memproduksi pesawat terbang. Bila tidak, maka impian untuk membuat pesawat terbang hasil produksi dalam negeri akan tetap tinggal sebagai “impian”.


Belajar dari Aneka Kecelakaan Pesawat Boeing

Sebelumnya

Temu Bulanan Pusat Studi Air Power Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Chappy Hakim