post image
Presiden Xi Jinping dalam Kongres ke-19 Partai Komunis China, 2017/ZT
KOMENTAR

Penyelesaian sengketa di Laut China Selatan dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna sulit dilakukan selagi pemerintahan Partai Komunis China (PKC) tidak mau mengubah watak dasar politik negeri tirai bambu itu.

Sedari awal, sejak mengklaim kembali perairan di Laut China Selatan, China sudah memperlihatkan sikap arogan dan tidak mau mengikuti aturan main dan hukum internasional yang berlaku.

Salah satu contohnya adalah ketika Filipina menggugat klaim China atas Kepulauan Spratly yang dalam bahasa Mandarin disebut Kepulauan Nansha. Posisi kepulauan ini sangat dekat dengan Filipina. Tetapi oleh China kepulauan itu dimasukkan ke dalam wilayah yang mereka klaim, yang digambarkan dalam sembilan garis-putus atau nine dashed-lines.

Filipina mengajukan gugatan ke Permanent Court of Arbitration (PCA) di Belanda pada Januari 2013. Tetapi China sama sekali tidak menganggap proses legal itu ada. China juga menolak mengirimkan perwakilan mereka dalam serangkaian persidangan yang digelar.

Pada bulan Juli 2016, PCA mengeluarkan keputusan yang secara umum menolak klaim China atas Spratly atau Nansha. Sampai sekarang, China bersikeras menolak dan bahkan menganggap keputusan itu tidak ada.

Arogansi yang diperlihatkan China inilah yang dikatakan dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Teguh Santosa, sebagai watak dasar politik China yang menghambat penyelesaian sengketa di kawasan.

"Ada adagium yang sampai kini masih berlaku, bawah negara demokratis tidak akan berperang dengan negara demokratis lainnya. Bahwa negara demokratis akan menempuh cara-cara yang demokratis dan dialogis dalam menyelesaikan sengketa dengan tetangganya. Tetapi kita melihat bagaimana arogansi China yang akhirnya berkembang menjadi agresivitas yang membahayakan kawasan," ujar Teguh Santosa dalam keterangan di Jakarta.

Arogansi China pun terlihat dalam kasus pelanggaran wilayah ZEE Indonesia yang kerap mereka lakukan. China tidak merasa melakukan pelanggaran apapun, karena memang tidak mau mengakui bahwa politik dunia telah berubah secara fundamental setelah Perang Dunia Kedua berakhir di tahun 1945.

Negara-negara baru lahir bersama hak kedaulatan mereka dan itu diakui dalam sistem hukum internasional.

"Bayangkan kalau semakin banyak negara yang enggan menerima prinsip suci demokrasi dan aturan hukum internasional. Apa jadinya dunia ini? Negara-negara yang arogan dan agresif seperti itu sesungguhnya adalah ancaman bagi perdamaian dunia," ujar Teguh lagi.

Arogansi pemerintahan Xi Jinping juga tampak jelas terlihat saat Indonesia memberikan nama baru bagi perairan di utara Pulau Natuna yang menjadi milik Indonesia di tahun 2017.

"China menolak nama Laut Natuna Utara karena mereka ingin lebih lama menikmati keuntungan historis dan prikologis dari nama Laut China Selatan yang mereka gambarkan sampai ke perairan di Bangka Belitung," jelas Teguh lagi.

Pada bagian akhir, Teguh meminta agar dunia internasional, khususnya negara-negara ASEAN yang dirugikan oleh arogansi China, bersatu dan mendesak China agar mau menghormati hukum internasional dan prinsip demokrasi.


PT Dahana Sudah Punya Pabrik Amonium Nitrat, Mimpi yang Jadi Kenyataan

Sebelumnya

Kapal Induk Jatayu Mulai Beroperasi di Laut Selatan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga