post image
Ilustrasi
KOMENTAR

Dalam Handbook of Energy & Economy Statistics of Indonesia 2021 yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) disebutkan bahwa sepanjang tahun lalu energi listrik yang digunakan sektor industri dalam negeri  sebesar 23 persen berasal dari listrik. Sementara 76 persennya berasal dari batubara (33 persen) dan bahan bakar minyak (43 persen).

Namun, walaupun faktanya begitu, narasi transisi energi seolah-olah eksklusif hanya pada energi terbarukan di sektor kelistrikan.

Demikian disampaikan Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Muhammad Yusrizki, ketika berbicara dalam “Indonesia G20 Energy Transition Investment Pre-Forum Meeting” yang diselenggarakan International Renewable Energy Agency (IRENA) hari Selasa kemarin (19/7) di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta.

“Kita seolah lupa bahwa bentuk energi final yang dikonsumsi sektor swasta, khususnya industri, tidak hanya listrik tetapi juga ada energi panas,” sambungnya.

Yusrizki lebih jauh menggarisbawahi, listrik tidak termasuk sumber energi primer bagi industri.

“Jadi 76 persen porsi konsumsi energi industri yang seolah-olah hilang di tengah narasi transisi energi Indonesia,” kata Yusrizki menegaskan.

Melalui inisiatif KADIN Net Zero Hub, Yusrizki mengajak seluruh pemangku kepentingan, terutama kalangan industri sendiri untuk melihat ulang proses transisi energi di industri Indonesia.

“Dekarbonisasi sektor kelistrikan penting, tetapi bukan berarti inisiatif-inisiatif transisi energi di industri cukup dilakukan melalui listrik yang lebih rendah karbon. Beri ruang bagi sektor kelistrikan, terutama Kementerian ESDM dan PLN, untuk membuat perencanaan dan implementasi dekarbonisasi,” masih kata Yusrizki.

Dia mengatakan, sambil menunggu kedua penggerak utama sektor kelistrikan tersebut, semua pihak hendaknya sama-sama melihat potensi transisi energi di sektor industri yang secara proporsional lebih besar, lebih signifikan, dan bisa jadi kebutuhan investasi sekaligus dampak sosialnya tidak kalah dibandingkan sektor kelistrikan.

Melanjutkan pemaparannya, Yusrizki juga menjelaskan bahwa banyak jalan menuju dekarbonisasi sektor kelistrikan, tidak melulu harus melalui penetrasi EBT dalam skala masif bagi semua konsumen.

“KADIN Net Zero Hub beserta mitra-mitra strategisnya memandang bahwa memberikan ruang gerak bagi industri untuk membeli listrik rendah karbon saat ini lebih penting dan lebih strategis dibandingkan membicarakan bagaimana dan kapan EBT skala besar dapat diakomodasi di jaringan listrik nasional,” lanjutnya.

Opsi membeli listrik rendah karbon, atau Renewable Procurement Method, merupakan salah satu cara eksplorasi bagi industri Indonesia untuk menurunkan emisi GRK mereka.

“Beri ruang bagi industri, tidak perlalu terlalu rumit menghitung apakah listrik EBT ini lebih mahal dibandingkan listrik dari energi fosil. Bagi industri yang memang memerlukan, mereka dapat menghitung manfaat yang mereka bisa dapatkan dari membayar harga premium dari listrik EBT. Yang menjadi kunci adalah membuka opsi bagi industri,” demikian pemaparan lebih lanjut dari Yusrizki.

Ketika ditanya apakah demi membuka opsi pembelian listrik EBT Indonesia harus mempertimbangkan deregulasi sektor kelistrikan, Yusrizki mengatakan, bila memang dibutuhkan, Kementerian ESDM yang memiliki kewenangan untuk mengusulkan dan memulai proses tersebut.

“Saya yakin banyak cara yang bisa dilakukan oleh Kementerian ESDM apabila mereka melihat urgensi di sektor industri, tidak hanya mengedepankan tantangan dan urgensi di sektor kelistrikan semata,” demikian Yusrizki.


Korea Selatan Siapkan Pesawat Pengintai Tak Berawak Antisipasi Gerakan Provokatif

Sebelumnya

Inggris dan Jepang Tandatangani Kerjasama Antariksa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Technology