post image
Ilustrasi
KOMENTAR

Pada akhirnya, review singkat atas kekuatan pertahanan Indonesia khususnya di matra udara menunjukkan bahwa arah kebijakan sudah semakin baik, tetapi masih belum tertata dalam sebuah perencanaan jangka panjang. Ada kemajuan signifikan dalam pilihan platform, kesadaran akan pentingnya radar dan angkut berat, serta upaya membenahi pangkalan dan jaringan hanud.

Namun di balik itu, masih tersisa kebutuhan akan simplifikasi tipe alutsista, penguatan industri nasional, penataan pangkalan yang lebih forward dan tersebar, serta penyelarasan yang disiplin antara doktrin, anggaran, dan strategi jangka panjang.

Jika pijakan-pijakan itu, doktrin dan ancaman, kedaulatan dan kemandirian, ekonomi dan logistik, serta kalkulasi politik sudah benar-benar diselaraskan, maka setiap rupiah yang dikeluarkan untuk alutsista akan berbuah pada satu hal: yakni kekuatan pertahanan yang mampu menjaga kedaulatan wilayah udara Indonesia secara nyata dan berkelanjutan, bukan sekadar menjadi simbol kekuatan di panggung upacara dan poster promosi.

Di atas semua itu, ada satu catatan khusus yang tidak boleh diabaikan dalam menilai kekuatan pertahanan Indonesia, yakni persoalan wilayah udara eks-FIR Singapura di kawasan Tanjung Pinang, Batam, Natuna, dan sekitarnya, di mana secara praktis Indonesia belum sepenuhnya berdaulat dalam pengelolaan ruang udaranya. Secanggih apa pun sistem hanud, radar, dan jaringan C2 yang kita bangun, ia akan selalu “terbentur” bila di sebagian wilayah udara kritis tersebut data lalu lintas penerbangan, prosedur navigasi, dan wewenang kontrol ruang udara masih ditentukan oleh otoritas di luar yurisdiksi kita sendiri.

Dalam perspektif pertahanan udara, ini bukan sekadar isu teknis layanan navigasi, melainkan soal kedaulatan dan situational awareness yang utuh. Penegakan kedaulatan di udara mensyaratkan tiga hal utama terdiri dari kemampuan control of the air, kemampuan memanfaatkan ruang udara (use of airspace), dan kemampuan penegakan hukum (law enforcement) di atas setiap jengkal wilayah teritorial.

Selama pengelolaan ruang udara di kawasan eks-FIR Singapura belum sepenuhnya berada dalam kendali nyata Indonesia baik dari sisi regulasi, operasi, maupun sistem informasi maka ketiga fungsi tersebut  tetap tidak akan pernah bisa dilaksanakan secara penuh.

Konsekuensinya sangat jelas: sistem pertahanan udara nasional akan selalu menyimpan PR strategis di wilayah yang justru paling sensitif dari sudut pandang geopolitik dan lalu lintas penerbangan internasional. Di satu sisi kita berupaya membangun kekuatan tempur, radar, dan rudal hanud yang modern, di sisi lain, di atas wilayah perbatasan kritis kita belum sepenuhnya bebas mengatur siapa melintas, dengan ketinggian apa, rute apa, dan bagaimana data itu mengalir ke pusat komando kita sendiri.

Tidak ada konsep control of the air yang benar-benar utuh jika sebagian ruang udara yang rawan masih “dipinjamkan” tata kelolanya kepada pihak lain.

Karena itu, agenda pembenahan sistem pertahanan udara Indonesia tidak boleh berhenti pada daftar belanja alutsista dan pembangunan pangkalan semata. Ia harus disertai langkah konsisten untuk memastikan bahwa wilayah udara eks-FIR Singapura benar-benar berada di bawah pengelolaan penuh Indonesia, tanpa celah ambigu antara kedaulatan de jure dan kedaulatan de facto. Baru setelah itu, seluruh investasi dalam radar, hanud, pesawat tempur, C2, dan infrastruktur pangkalan akan menemukan makna strategisnya secara utuh. 

Tidak ada kekuatan udara yang sungguh-sungguh berdaulat apabila sebagian ruang udara kedaulatannya masih digantungkan pada keputusan dan sistem pihak lain. Tugas besar Indonesia ke depan adalah merajut antara desain alutsista, postur pangkalan, jaringan hanud–C2, dan tata kelola ruang udara termasuk wilayah eks-FIR Singapura untuk menjadi satu kesatuan yang kokoh.

Hanya dengan cara itulah kekuatan pertahanan RI benar-benar berfungsi sebagai instrumen kedaulatan yang nyata dan berkelanjutan, bukan sekadar deretan angka di lembar anggaran dan barisan pesawat yang melintas pada  hari hari upacara.


Catatan dari Rapat Kickoff Penyusunan Kebijakan Pengembangan Pesawat Terbang Nasional

Sebelumnya

Belajar dari Morowali

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Chappy Hakim