post image
KOMENTAR

Oleh: Hamid Basyaib

JIKA saling serang antara Israel dan Iran mencapai titik eskalasi tertinggi dan pecah sebagai perang terbuka, apa yang akan terjadi di panggung Timur Tengah?

Perang ini bukan sekadar duel dua negara yang bermusuhan. Ia akan menjadi gempa geopolitik yang getarannya akan terasa dari Tel Aviv hingga Teheran, dari Riyadh hingga Beirut, dari Damaskus hingga, tentu saja, Washington.

Ini bukan semata soal siapa duluan menyerang siapa, tapi soal siapa yang akan menentukan wajah Timur Tengah di masa depan.

Dalam dua dekade terakhir, konflik ini telah berlangsung dalam bentuk “perang bayangan.” Atau dalam bentuk perang verbal, saling menggertak dan saling mengancam, dengan melibatkan Amerika, meski terkadang masih dibungkus dengan berbagai sindiran diplomatis.

Tapi pada 2010, terjadi sabotase siber serius terhadap pusat nuklir Natanz, berupa pelumpuhan sistem komputer reaktor itu oleh virus Stuxnet, seperti direkam dengan sangat baik oleh film dokumenter karya Alex Gibney (“Zero Days”, 2016). Ada indikasi kuat penyusupan Stuxnet merupakan hasil kerja sama Israel dan Amerika.

Berikutnya terjadi pembunuhan ilmuwan nuklir Iran, Mohsen Fakhrizadeh, yang menurut banyak laporan melibatkan Mossad. Lalu, dalam serangan drone Israel atas konsulat Iran di Damaskus pada April 2024, tewas dua brigadir jenderal Pasukan Quds (satuan terpenting dalam struktur Pengawal Revolusi).

Pukulan terbesar terhadap Iran terjadi pada Januari 2020, ketika Jenderal Qassem Soleimani dibunuh oleh drone Amerika — atas perintah Presiden Trump — di pangkalan militer Baghdad. Soleimani adalah panglima Pengawal Revolusi; kematiannya membuat Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei menangis tersedu-sedu.

Iran sejak lama menopang Hizbullah Lebanon, Hamas, dan milisi Syiah di Irak, Suriah, dan Yaman. Selama ini ia menyerang kepentingan Israel dan Amerika melalui kelompok-kelompok milisi ini. Tapi sejak April 2024, garis samar itu mulai luntur.

Iran meluncurkan lebih dari 300 drone dan rudal ke langit Israel sebagai pembalasan atas serangan udara terhadap konsulatnya di Damaskus itu. Dunia menahan napas, menunggu apakah ini awal dari badai besar. Israel siap membalas, tapi Presiden Biden mencegahnya karena kuatir terjadi eskalasi yang tak terkendali dan membakar seluruh Timur Tengah.

Sekarang provokasi serius disulut oleh Israel, yang telah menyiapkan serangan ke reaktor Natanz dan beberapa lokasi lain di Iran selama bertahun-tahun. Ia mengerahkan 200 jet tempur untuk menembak presisi dengan lebih dari 300 bom ke enam lokasi, termasuk ke pusat-pusat penangkal serangan udara Iran.

Sumber Iran menyebut: korban tewas 224 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, selain sedikitnya enam ahli nuklir dan tiga jenderal.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah perang akan pecah, melainkan jika pecah perang besar, siapa berdiri di barisan mana?

Amerika: Loyalitas dan Kalkulasi

Sejak lama AS dikenal sebagai pelindung utama Israel karena sejumlah kalkulasi. termasuk berkat lobi Israel yang sangat kuat dan efektif (yang secara “resmi” dimulai pada awal 1960an, di masa Presiden Kennedy).

Seperti kata Joe Biden dalam pidatonya di Gedung Putih April tahun lalu, “Komitmen kami pada keamanan Israel adalah kunci mati, ironclad.” Tetapi “ironclad” tak berarti tanpa syarat. Ketika Israel berencana meluncurkan serangan balasan besar terhadap Iran, Washington menekan Tel Aviv agar “menahan diri demi stabilitas kawasan”—menurut bocoran dari New York Times dan Haaretz.

AS khawatir perang penuh akan menaikkan harga minyak, menyeret pangkalan militernya di Irak-Suriah dalam serangan, dan memperumit hubungannya dengan negara-negara Teluk.

Maka Amerika memainkan dua peran ganda: pemasok amunisi dan pemadam kebakaran. Ambiguitas yang ironis ini tak asing dalam kebijakan luar negeri Amerika.

Hari ini pun hal itu terjadi. Presiden Trump mengancam Iran: jika ia menyerang pangkalan-pangkalan militer Amerika di Baghdad, Qatar dll., maka Iran akan mendapat balasan yang tak terbayangkan mengerikannya. Tapi Trump juga menekan Israel agar membatalkan rencananya menghabisi Ali Khamenei.

Arab Saudi: Tak Mau Terbakar

Sebagai “kiblat Sunni”, Arab Saudi adalah rival utama Iran, “kiblat Syiah” di dunia Islam. Persaingan Sunni-Syiah, konflik proksi di Yaman, dan pertarungan pengaruh di Suriah dan Lebanon membuat Riyadh dan Teheran selalu saling waspada.

Apalagi Iran tampak tak pernah kendor dalam menggenggam doktrin Imam Khomeini tentang “ekspor revolusi” — meski dengan retorik yang tak segamblang di masa eforia pasca sukses revolusi 1979. Namun sejak kesepakatan normalisasi yang ditengahi Cina pada 2023, hubungan mereka terlihat membaik secara diplomatis.

Perbaikan hubungan di permukaan itu tak akan membuat Saudi membantu Iran, tapi ia juga tak akan membuka wilayah udaranya untuk jet Israel. Saudi ingin Iran dipukul, tapi bukan sampai hancur. Posisi Riyadh: menunggu siapa yang lebih dulu kelelahan, sebelum melancarkan manuver-manuver diplomatik.

UEA dan Bahrain: Realpolitik dan Retorika


Apa Tujuan Israel Menyerang Iran?

Sebelumnya

Serangan Balasan Iran Hantam Tel Aviv dan Yerusalem

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Politics