Uni Emirat Arab dan Bahrain telah menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accords, 2020. Para elit Teluk tahu bahwa ancaman nyata bagi mereka bukanlah Israel, melainkan Iran. Tapi di hadapan publik Arab, mereka tetap harus menjaga retorika.
Sebab siapapun paham: rakyat negara-negara Arab konstan bersimpati pada nestapa bangsa Palestina; hanya para elit mereka yang suntuk “berpolitik”— ambiguitas inilah yang dulu dengan cerdik dimainkan oleh Yasser Arafat, dan tampak kurang terampil dimanfaatkan oleh para pemimpin lain Palestina.
Maka UEA dan Bahrain rajin mengutuk Israel di sidang-sidang PBB, sambil mengimpor teknologi keamanan Israel di belakang panggung. Seperti kata seorang diplomat lama UEA: “Kami tidak mampu melawan Iran sendirian. Tapi bersama Israel, kami punya peluang menang.”
Mesir dan Yordania: Jalan Selamat Status Quo
Mesir dan Yordania punya perjanjian damai dengan Israel. Ini memang sesuai instruksi Washington, yang sejak puluhan tahun lalu menyuap keduanya dengan miliaran dolar per tahun; jumlah yang sangat berarti bagi kedua negara Arab yang tak punya minyak itu (“dana suap” Amerika tetap jauh lebih besar kepada Israel).
Tapi mereka tahu betul bahwa api Timur Tengah bisa menyambar siapa saja. Mereka menjaga hubungan formal dengan Israel, sembari tetap mengecam jika konflik memanas. Rakyat mereka tetap bersimpati pada Palestina dan anti-Zionis — terutama Yordania, rumah bagi sekitar 6 juta penduduk berdarah Palestina, dari 10 juta rakyatnya.
Mereka adalah negara-negara penyeimbang. Mereka tak cukup kuat untuk memimpin, tapi cukup penting untuk meredam. Mereka benteng status quo — penjaga selingan ketenteraman yang tidak ideal.
Suriah dan Lebanon: Panggung yang Harus Ikut Menari
Suriah telah menjadi markas milisi pro-Iran dan wilayah transit senjata Hizbullah. Setiap minggu, jet Israel membombardir pinggiran Damaskus, meski rezim di sana telah berganti dari penguasa Syiah ke pemimpin Sunni (sesuai sekte yang dianut mayoritas rakyatnya). Lebanon, lewat Hizbullah, siap menyalakan front utara jika Iran diserang.
Jika perang pecah, dua negara ini akan menjadi medan tempur. Mereka bukan aktor utama, tapi kayu bakar dalam tungku besar. Dan rakyat mereka akan kembali menjadi korban, seperti telah terjadi selama puluhan tahun terakhir.
Qatar dan Turki: Kuda Troya yang Cerdik
Qatar menjadi tuan rumah pangkalan militer Amerika, sambil menjalin hubungan baik dengan Iran dan Hamas. Turki, di bawah Erdogan, gemar mengecam Israel secara terbuka, seraya tetap menjalin hubungan dagang aktif dengan Tel Aviv.
Mereka berdiri di antara dua dunia, memainkan peran ganda yang pragmatis dan penuh kalkulasi. Seperti kata kolumnis Al Jazeera, “Qatar ingin jadi jembatan — bukan gelanggang tempur.”
Siapa Pemenang: Iran atau Israel?
Dengan merebaknya saling tembak antara Israel dan Iran hari-hari ini, bisakah salah satu menghancurkan yang lain? Jawabannya hampir pasti: tidak mungkin.
Israel punya keunggulan teknologi dan senjata nuklir (meski sampai sekarang tak diakuinya), tapi Iran punya kematangan strategis, jaringan luas proksi, dan kemampuan untuk menghantam dari banyak arah.
Dalam serang-menyerang sekarang pun hal ini terbukti. Israel menyerang mendadak dan presisi ke enam lokasi Iran, dan harus terkejut berat karena ternyata hanya dalam hitungan jam Iran mampu membalasnya dengan cukup telak, terutama merobek Haifa, kota pelabuhan Israel.
Jika proksi-proksi Iran di beberapa negara Timur Tengah turun meriam, Israel pasti kewalahan karena harus menangkis banyak sekali serangan balasan.
Pepatah yang berlaku di banyak tempat berbunyi: “Musuhnya musuhku adalah kawanku.” Tapi di Timur Tengah adagium ini tak berlaku. Seperti pernah dikatakan Menlu AS Henry Kissinger, “Di Timur Tengah, musuhnya musuh Anda tetaplah musuh Anda.”
Iran dan Israel sama-sama hidup dalam kepungan musuh dan teman yang tidak bisa dipercaya sepenuhnya.
Israel bisa menghantam fasilitas nuklir Iran, tapi tak bisa membasmi tekad politik Teheran beserta militansi tentaranya yang jauh lebih besar — penduduk Iran sembilan kali lipat warga Israel.
Iran bisa menyerang dengan ratusan rudal dan drone, tapi tak mampu meruntuhkan ketahanan dan sistem pertahanan Israel yang kompleks.
Maka konflik ini akan terus berputar dalam pola lama: serangan balasan, pembalasan atas balasan, dan dunia selalu berada satu tarikan napas dari perang besar.
Kemenangan atau Kuburan?
Tapi mungkin di sinilah letak tragedi kita yang paling menyayat hati: bangsa-bangsa yang lahir dari kitab-kitab suci, yang mewarisi ajaran tentang kasih, keadilan, dan penebusan, justeru yang paling bernafsu menyulut dan mempertahankan api kebencian.
KOMENTAR ANDA